Mawar Perang
Episode 5 dari 6
(Perang Sabil)
Belantara
gelap. Sulur-sulur melingkar berkait berkelindan menggambarkan kesuraman hutan.
Hawa dingin pagi kejam menusuk tulang menghamburkan asa kepada kedamaian yang
telah lama hilang. Dasar hutan basah. Anak-anak embun bergelantungan ceria pada
putik-putik rerumputan. Batang-batang pohon kekar dan tebal setia mengawasi
perang yang tak lama lagi akan datang. Sebab para pejuang Aceh sedang mengintai
dari baliknya.
Di
belakang sebuah batang pohon yang besar itu Meutia dan Muhammad memicingkan
mata mereka mengintai musuh. Di sanalah mereka kini, di tengah Perang Sabil.
Mereka menikah dan bulan madunya adalah turun berperang. Baru kali itu Meutia
sungguh-sungguh merasakan cinta. Cinta kepada seorang lelaki, cinta kepada
tanah airnya, cinta kepada agamanya. Ia merasakan cinta yang sesungguhya. Dan
kini ia berada di antara semak-semak, memeluk senapan, mengintai, hendak
melanjutkan perang melawan kaphe Belanda.
Pria
gagah itu, Teuku Muhammad, teguh bersandar sambil mengintai kedatangan musuh.
Orang-orang memanggilnya Teuku Cik Tunong. Sudah lama dia menjadi duri dalam
daging bagi pemerintah kolonial Belanda. Dialah otak penyerangan berbagai
benteng Belanda di sepanjang wilayah pantai timur Aceh. Dia pula yang menjadi aktor
utama penyergapan-penyergapan patroli dan konvoi logistik Belanda. Dan dengan
Meutia berada di sisinya, perjuangannya makin sempurna. Akhirnya apa yang
diidamkannya terkabul juga. Dia dapatkan seorang perempuan cantik yang tangkas
dan teguh berjuang. Mereka adalah pasangan serasi yang akan mengguncang
singgasana penjajahan.
Bersama
dengan pasukannya yang telah tersebar di sekitar hutan itu, Cik Tunong dan
Meutia akan menyergap konvoi pasokan logistik Marsose belanda yang akan lewat
menuju Keureuto. Mereka telah memperhitungkan segalanya, dan saat penyergapan
itu berhasil dilaksanakan mereka akan merampas semua barang yang dibawa konvoi
logistik itu. Mereka akan berpesta dengan mendapatkan ratusan pucuk senapan
beserta amunisinya, juga bahan makanan dan pakaian. Dengan sabar mereka semua
menunggu mangsanya lewat.
“Terima
kasih, Cutbang,” bisik Meutia, senapan teguh dalam pelukannya.
Cik
Tunong menoleh kepada istrinya, mempersembahkan senyum menawan. “Jangan
berterima kasih terus. Kau sudah berkali-kali bilang begitu.”
“Kau
sudah menyelamatkan aku.”
“Itu
semua ketentuan Allah. Dialah yang mengatur semuanya. Akulah yang mestinya
bersyukur sebab akhirnya aku mendapatkan perempuan yang aku idam-idamkan.
Engkau cantik, pintar, teguh, dan gigih berjuang. Sungguh aku bangga kau mau
menjadi istriku.”
“Aku pun begitu, aku hanya mau bersama lelaki
pejuang. Bukan pengkhianat.” Bisik Meutia sambil tersenyum.
“Itu
jodoh namanya.” Cik Tunong menyikut lembut pinggang istrinya. Sesekali dia
mengintip ke arah tempat datangnya pasukan Belanda. Masih sepi, musuh belum
datang.
Tiba-tiba
Meutia menggenggam erat tangan Cik Tunong. Ia menoleh kepada suaminya. “Aku tak
ingin kehilanganmu, Cutbang.”
Cik
Tunong tersenyum lagi. “Tak ada yang hilang, Sayang, aku akan tetap ada bersamamu.
Selalu. Jangan kau pikir mereka yang mati di atas jalan Allah itu mati,
melainkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki. Selama kita
tidak lari dari jalan perjuangan ini, kita pasti bertemu lagi.”
Meutia
tersenyum.
“Kuatkanlah
hatimu,” lanjut Cik Tunong, “sebab akupun mesti menguatkan hatiku, apabila
sesuatu terjadi padamu. Sekali tangan kita berpegangan takkan kita lepaskan di
dunia dan akhirat. Demi kuasa Allah aku mencintaimu.”
Sinar
mata mereka bertemu dalam cinta, kesabaran, dan keikhlasan. Senyum terkembang
lagi mengantarkan pejuangan. Dan dalam cinta itu mereka akan terus melawan
penjajahan. Jemari Cik Tunong menyentuh lembut dagu Meutia, dikecupnya pipi
Meutia.
“Aku
mencintaimu.” Katanya sekali lagi.
Meutia
tersenyum, wajahnya merona merah, dia tak sanggup berkata-kata lagi. Dia
bersyukur mendapatkan kehidupan yang manis, mendampingi seorang pejuang
tangguh, berdiri tegak di atas jalan perjuangan, teguh melawan kaphe Belanda
habis-habisan.
Sayup-sayup
suara iring-iringan konvoi logistik Belanda terdengar. Mereka bersiap,
membidikkan senapan mereka kepada sasaran yang datang. Mangsa semakin dekat,
semua pejuang Aceh secara otomatis bersiap. Senapan telah teracung, rencong dan
kelewang telah terhunus. Perang Sabil adalah janji Allah. [Sayf Ahmad Isa] .(bersambung)
Tidak ada komentar