Pacaran islami, emang ada?
D’riser,
kisah kasih remaja,
identik dengan budaya pacaran. Bahkan pacaran
kadung jadi identitas pergaulan modern yang banyak menyita waktu hidup remaja.
Di mana aja dan kapan aja, tema pacaran selalu jadi obrolan hangat. Remaja seolah
tak punya pilihan untuk menyalurkan rasa cintanya kecuali dengan pacaran.
Seperti apa sih kegiatan orang pacaran itu?
Pertama, ungkapan cinta. Boleh dibilang, ‘aksi penembakan’ ini
adalah saat-saat menegangkan bagi para aktivis pacaran. Soalnya, penting banget buat kelanjutan
hubungan kasihnya dengan pujaan hati. Kalo ditolak, hubungan cukup sampe level
teman (atau TTM?). Kalo diterima, yes! Hubungan bisa lanjut ke yang lebih
serius. Maksudnya, serius menuju pelaminan? Eits, jangan asal nuduh dong.
Maksudnya, serius merhatiin isi dompet pacar. Dan pastinya, serius ngenal pacar
luar dalam. Nah lho? Kaya servis mobil aja luar dalam. Hoeks!
Kedua, body contact. Bagi orang
pacaran, seolah ada aturan tak tertulis yang ’mengizinkan’ mereka untuk saling
bersentuhan secara fisik. Mulai dari ’kegiatan biasa’ seperti pegangan tangan,
hingga yang mendekati zina seperti pelukan, saling membelai, kissing, necking,
atau petting.
Aktivitas body contact orang pacaran udah masuk kategori
mendekati zina. Meski nggak selalu berujung pada zina hakiki (coitus), bukan
berarti kegiatan fisik itu dianggap aman. Tetep aja dibenci Allah. Dalam kitab
Shahih Muslim bi Syarah an-Nawawi, dijelaskan ada manusia yang melakukan zina
hakiki, ada juga yang melakukan ’zina’ melalui indera mereka. Termasuk
diantaranya dengan cara menyentuh tangan ajnabiyah (bukan mahram) dengan
tangannya. Tuh kan?
Ketiga, berdua-duaan. So pasti orang pacaran
selalu pengen berduaan dengan pasangannya. Dimana saja, kapan aja. Dengan
pengawasan, apalagi kalo nggak diawasi. Biar bisa ngobrol lebih bebas dan intim
diselingi canda tawa mesra yang kian mendekatkan hubungan cinta mereka. Pihak
ketiga yang mau ikutan nimbrung, mesti izin dulu. Kecuali setan kali yaa.
Soalnya setan kan nggak keliatan, jadi bisa dengan mudah menyelinap diantara
mereka dan menggoda hati keduanya untuk mendekati zina. Kondisi inilah yang
dalam Islam dikenal dengan istilah khalwat. Dan nggak ada satu ulama pun yang
menolak keharaman khalwat. Catet tuh!
Pacaran Islami =
Legalisasi Pacaran!
Opini pacaran Islami kian menguat ketika ada pihak yang gencar
mengkampanyekannya disertai dalil-dalil syar’i untuk membenarkan aktivitas
pacaran versi Islam. Seperti boleh berkhalwat asal diawasi, boleh berpegangan
tangan seperlunya tanpa nafsu, boleh boncengan dengan menjaga jarak biar tak
bersentuhan, atau boleh mengobral cinta, dan tetep menjauhi zina. Saking
ngototnya, pengusung ide pacaran Islami ini juga ngulik beberapa buku penghujat
pacaran kemudian menghujat balik opini yang tertulis di dalamnya. Lantas, untuk
apa pacaran diislamisasi?
Untuk ngasih kemudahan bagi para aktivis dan simpatisan pacaran islami
dalam menjalin percintaan sebelum menikah. Selain itu, dengan pacaran Islam
bisa turut memperbaiki citra Islam yang sering dihubungkan dengan terorisme dan
kekerasan. Begitulah pernyataan tertulis pengusung ide pacaran Islami diakhir
seruannya. Hmm...dengan tanpa mengurangi rasa hormat akan perbedaan pendapat,
ada hal yang mengganjal membaca tujuan islamisasi pacaran.
Pertama, kalo untuk memudahkan, bukankah Islam juga udah ngasih kemudahan
dengan aturan khitbah (pinangan) yang jelas dan tegas sebelum menikah. Sehingga
tetep bisa kenal lebih dekat satu sama lain sebelum ke jenjang pernikahan. Apa
ketegasan aturan khitbah yang mulia dianggap menyulitkan sehingga harus
mengadopsi ide pacaran dan dikasih label ‘islami’ biar syar’i? Atau malah
ngikutin ‘selera pasar’ yang lebih familier dengan istilah ‘pacaran’ dibanding
‘khitbah’ sehingga masyarakat lebih mudah menerima Islam dengan sedikit ‘rekayasa’?
wallahu a’lam.
Kedua, kalo dikaitkan dengan terorisme dan kekerasan, selain gak nyambung,
konsep pacaran Islami lebih terlihat seperti bentuk pembelaan diri agar
terlepas dari tuduhan miring terhadap Islam. Padahal, yang ngasih cap negatif
terhadap Islam adalah musuh-musuh Islam. Kalo kita yakin Islam nggak seperti
yang dituduhkan, untuk apa cemas dan takut untuk menyuarakan kebenaran Islam
apa adanya. Dan untuk memperbaiki citra Islam harusnya dengan membongkar makar
dan fitnah musuh-musuh Islam. Bukan malah merasa terpojok lalu bersikap
defensif apologetik. Eits, apaan tuh?
Defensif apologetik adalah upaya pembelaan diri dengan menggunakan pola
pikir pihak penyerang karena takut dianggap berbeda dengan orang lain.
Misalnya, ketika dinilai aturan Islam tuh kaku dan nggak bisa ngikutin zaman.
Terus kita bilang, “eits, kata siapa? Aturan Islam fleksibel kok. Busana
muslimah aja bisa trendy bin fashionable. Yang penting kan menutup aurat.”
Niatnya menjelaskan, eh malah menjatuhkan. Orang yang bersikap defensif
apologetik biasanya akan terseret untuk terjebak dalam alur pemikiran pihak
penyerang. Jadi nggak pede dengan dirinya. Berabe tuh!
D’riser, dari penjelasan di atas, dengan sangat
’menyesal’ kita mau bilang kalo pacaran itu nggak ada dalam aturan Islam dan
nggak dicontohin oleh Rasul saw. So, kalo ngotot pengen pacaran, merit dulu
kali yaaa. Berani?![341]
Tidak ada komentar