SATU
By: Juan Martin
Remah-remah cemara belum sepenuhnya tertutupi salju
Desember. Ketika pertama kali aku menjejakkan kaki di negara ini, Amerika.
Sejatinya negeri Paman Sam ini adalah Kampung halaman bagi keluarga besarku. Hari
ini, pemandangan tak seperti kemarin. Tumpukan-tumpukan salju mulai mencair di
terpa sinar mentari. Kicau burung mengawali pagi di bulan Januari. Sisa-sisa
malam pergantian tahun masih menyemarakkan keindahan di sudut-sudut Kota. Meski
dengan itu, kondisi fisik yang lelah berpesta menjadi harga mati yang harus
dibayarkan oleh mereka. Ku jejakkan kakiku di atas tumpukan salju yang masih
tersisa. Belum di bersihkan oleh para pekerja.
Aku baru saja menuntaskan sarapan yang tersisa ketika Ayah datang
membawa setumpuk barang belanjaan. Pesta natal dan tahun baru kemarin hanya
menyisakan asupan untuk kami hari ini. Kami tinggal di Di bagian Amerika utara
dekat pegunungan Rocky Mountain. Meski dulu karena urusan kerja, kami sempat
pindah di Amerika selatan tak jauh dari Cordelleras De Los Andes. Ayah seorang
pensiunan Angkatan Udara Amerika. Makanya wajar, sejak kecil kami di didik
dengan jiwa nasionalisme yang tinggi. Aku dimasukkan ke sekolah militer sejak
lulus.
Dua tahun Aku mengikuti wajib militer di wilayah
Afganisthan. Daerah yang awalnya kuharapkan mampu memupuk kecintaanku terhadap
Negara. Kenyataanya tak seperti itu, mungkin disebabkan sifat plegmatisku yang
akhirnya membuatku seperti ini. Menyeretku pada sejuta tanya yang akhirnya
membuat hubunganku dengan Ayah sedikit renggang sepulang menjalani wajib
militer. Pikiranku ku selancarkan pada tapak-tapak diskusi dalam dunia tanpa
batas.
****
“Namaku
Alika. Alika ilyanov. Seorang keturunan uzbek yang keluarga besarnya di Rusia.
Aku seorang Muslim. Senang berkenalan denganmu. perkenalan kami via room
islami. Di pikirnya aku ini Muslim berdasarkan logika bahwa nama Aulia pasti
selalu Muslim. Aku hanya tersenyum. Meski pada akhirnya, kejujuranku tak
membuatnya kaget. Sebersit kekaguman menjalar di pikiranku. Terlebih ketika
banyak tanya yang menumpuk kelak akan teruraikan.
Hari ini Aku menyengajakan menemuinya. dia mendapat
kesempatan berkunjung ke keluarganya yang separuhnya tinggal di Amerika.
ah,sejak kapan Amerika dan Rusia bisa rukun?
****
Pemandian itu tidak begitu
besar. Tempat kami bertemu. Ia di temani Pamannya. Seorang laki-laki yang
kutaksir berusia 35 tahun ke atas. Pemandian ini Hanya sebesar kolam renang
yang setiap sisinya di bentuk kolam-kolam kecil dengan hiasan batu-batu alam
dengan ukiran-ukiran khas tipologi dari bangunan-bangunan di Jaman Arsitektur
Romanesque untuk menciptakan atap meruncing. Kuyakinkan bahwa selang satu jam
ke depan,tempat ini akan ramai di kunjungi orang.
Ku rasakan hangatnya air menjalar
ketika kujejakkan kaki di permukaan air. Kumasukkan hingga selutut sembari
duduk di tepian kolam. Ia Memainkan air dengan tangannya sambil sesekali
membasuhkan air ke wajahnya yang segera memerah berriak. Di beberapa sudut
ternyata ada semburan air mendidih layaknya pemandian air panas kebanyakan.
“tahukah engkau? Air akan
mendidih hanya jika di panaskan, bukan di dinginkan. Itupun hanya bisa mendidih
ketika mencapai temperature seratus derajat. Ketentuan itu tidak datang dari
air itu sendiri, tetapi pasti di luar air tersebut. Demikian pula Manusia.
Bernafas menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Bukan sebaliknya”.
Aku mengagumi pola pikirnya.
Kesejukan di tiap katanya membasuh imajinasiku tentang sesuatu itu. Namun
jawabanku tertelan. Tertahan oleh diskusi dengan Ayah beberapa hari yang lalu..
“Manusia membutuhkan berbagai zat
gizi, dan oksigen untuk hidup. Itu adalah bukti tak terbantahkan tentang
keterbatasan segala apa yang hidup”. Sambil memperbaiki letak
kerudungnya,senyumnya kembali menggantungi wajah.
“Kalau tak ada gizi, tak ada
oksigen, matilah manusia. Manusia lemah. Segala-galanya teratur dan tergantung
pada suatu aturan. Demikian adanya. Dan keteraturan tersebut bukanlah kehendak
mereka.… yang menciptakannya adalah Allah..”.
Aku mengangguk-angguk
“Li, manusia diberi nafas gratis
oleh penciptanya. Pernah berpikir susahnya orang yang bernafas dengan bantuan
tabung oksigen? Dia harus membayar mahal untuk itu. Ketika kenikmatan nafas
gratis di cabut oleh pemiliknya”
Konsep itu jujur aku yakini, tapi
sesuatu yang mengganjal pikiranku akan konsep ketuhanan dan ritual di dalamnya
membuatku gamang.
“Hmm, yakinkah engkau tentang
sesuatu yang tak terlihat?”. Jujur, aku tak sanggup menahan tanya tentang
konsep keyakinannya.
“Bukankah kita kadang meyakini
sesuatu tanpa kita mampu mengindranya? Namun kita meyakini akan keberadaannya”
“Contohnya?”
“Udara atau waktu”.
Aku terdiam.
“Pernahkah engkau melihat udara atau
waktu? Wujud keduanya seperti apa? Meski tidak terlihat, tapi toh orang-orang meyakini
keberadaan keduanya. Tak selamanya sesuatu yang kita yakini, akan mampu di
indera wujudnya. Segala yang di yakini tidak harus dalam bentuk materi. Ini
sekaligus menyangkal pemahaman orang kebanyakan yang kebenarannya tunduk pada
konsep materi”
“Hmm, ..aku di lahirkan dengan
agama yang saat ini aku yakini. Andai aku terlahir dari rahim orang tua
sepertimu, pasti agamaku tidak seperti yang aku yakini saat ini. Jadi, aku
terlahir dari rahim Ibuku yang nasrani itu bukan kehendakku bukan?”
Ia tersenyum “Kelak kamu akan
mengtahui jawabannya. Kamu telah mengawalinya dengan mulai memikirkan hal
tersebut”
Kata-katanya ku aminkan. Meski
hanya dalam hati. Biarlah ku endapkan saja diskusi kami hari ini dalam otak. Ku
bangun sebuah monolog di pikiranku.
****
Sesuatu yang tak terindra namun kita percaya keberadaannya. Hm,
Aku membandingkan konsep ketuhanan yang ku yakini. Sejatinya manusia memang
lemah, dan membutuhkan sesuatu yang lebih kuat dibandingkan dirinya. Ketika
diciptakan kita pasti menyadari bahwa ada keinginan untuk mensucikan sesuatu
yang di anggap memiliki kekuatan itu. Sekuat apapun kita berusaha mengeliminasi
rasa itu pada diri kita, Ia pasti akan tetap ada yang mewujud sebagai sebuah
naluri. Namun jika pemuasan dalam mensucikan sesuatu itu tanpa disertai akal
maka akan memunculkan imajinasi atau fantasi bahkan asumsi dalam otak yang
tidak berhubungan dengan kebenaran itu sendiri. Walhasil pemuasannya akan
menyimpang. Layaknya penyembahan terhadap pohon besar atau batu besar yang
disucikan dikarenakan cerita mistik yang menyertainya. Nalar menjadi mandul
hingga tak dapat menunjukkan kita tentang kebenaran. Tak mampu berpikir bahwa
batu ataupun pohon yang di sembah adalah sama-sama ciptaan, bukan pencipta yang
layak untuk di sembah. Perasaan takut yang tidak disertai pikiran.
****
Di Detik ini, Aku mematung sedari tadi di deretan terdepan
kursi gereja. Ku nikmati raut—raut wajah yang memejam khusyu di hadapan
kekudusan Yesus sang juru selamat. Ah, dapat kubayangkan kematiannya di tiang
salib dalam rangka penebusan dosa manusia. Ah, Tuhan berakhir?? Mati di tiang salib
di bunuh oleh ciptaannya?? Tapi aku yakin, Tuhan itu ada. Pasti ada. Tapi
dimana? Bentuknya seperti apa?
****
Malam ini, Dialog itu kembali
mengiang,menusuk-nusuk sisi otak kiri dan kananku. Bahwa fakta desember adalah
jauh dari hari raya Natal. Bahwa penuhanan Yesus terjadi melalui konsili nicea.
Bahwa Yesus adalah manusia dan Ia adalah terbatas. Lemah. Tunduk pada sesuatu
yang tak terbatas, dia makhluk.
Arrghhh….pertentangan ini
membuatku pening. Desingan-desingan kata melumpuhkan argumentasiku.
Terngiang perdebatanku dengan
Ayah untuk kesekian kalinya. Kembali aku mempertanyakan segala gelisahku. Tumpah
ruah menyesakkan pilu dalam dada ketika aku harus berhadapan dengan fakta bahwa
keluarga begitu membenci pertanyaan atas doktrin yang telah menyatu dalam batok
kepala mereka. Hatiku berriak. Berhari-hari menelusuri lembar demi lembar
kebenaran yang membawaku pada kontemplasi tentang makna sebuah kebenaran.
Konsep Trinitas menuai kritisku.
Tuhan anak,Tuhan Bapak dan roh kudus adalah satu. Tiga dalam satu dan satu
dalam tiga. Tiga adalah satu dan satu adalah tiga. Sebagaimana lampu yang
memiliki cahaya, panas dan lampu itu sendiri. Seluruhnya adalah satu dan
seluruhnya adalah tiga. Ah, tapi tidakkah itu salah? Bukankah satu adalah satu
dan tiga adalah tiga???
Tak puas aku dengan logika ini.
Melogikakan sesuatu yang butuh pembenaran yang bersifat pasti. Tak
berputar-putar. Jenuhku bergolak. Naluriku menginterupsi pikiran. Ordeku
berubah memasuki fase kontemplasi tentang hakikat kebenaran sejati. Di ujung
titik tanpa sebuah tanya lagi.
****
Awan di langit biru
berarak-arakan menyenandungkan ritme kehidupan. Aku mengendus sebuah hakikat. Di
puncak pas kebenaran, ku syahadatkan diriku untuk sesuatu yang Satu…..[]…………………………………………….
Samarinda…
Untuk
Princess Lita saat menemanimu, yang keesokannya ternyata sudah tak lagi
milikmu..
21.35
Wita…
di muat di majalah drise edisi 09
Tidak ada komentar