BUJANG BY ADHITYO WISNU
Bujang semarga aku mengenalnya.
Sejagat aku tahu perangainya. Sesempurna
semua perilaku dan sifatnya. Anggap saja kalian tahu wajah Bujang sejelas aku lihat pohon ketapang di pinggir jalan desa
yang berbaris rapi tanpa cela dan
tertata dalam paduan apiknya cinta
dunia. Anggap saja kalian tahu kegiatan Bujang tiap hari seperti aku sebagai diary agendanya sehari-hari. Sedekat mata pena dan kertas tersekat dalam barisan cetaknya. Anggap saja
kalian suka Bujang, seperti sukanya
Bujang berdoa pada Gusti Allah tiap malam
panjang untuk segera diberi rejeki. Seorang
istri yang dinanti 19 tahun lebih.
***
Ramadhan kali ini tiba dipertengahan bulan. Tepat saat Bujang terpangku tangan. Menatap semua kesedihan yang nampak bahagia dan ceria mengelilinginya. Seperti tak terima
berbagi tawanya dengan bibir Bujang yang
menekuk, datar, diam, menekuk lagi,
datar, lalu diam lagi. Sesaat kemudian
menekuk kembali. Ramadhan kali ini tiba tepat diakhir minggu. Waktu yang biasa digunakan para remaja kampung saling mengenal. Waktu cumbu rayu antara senja dan malam. Waktu yang tepat untuk berkata sayang lalu berlamar-lamaran. Bujang
juga punya daya untuk itu. Tapi angka yang
disebut Wak Haji Ali di selamatan hari jadinya
tahun lalu kuasa menahannya.
Tiga puluh sembilan
bukan angka kecil. Itu besar untuk
Bujang. Ia makin renta. Dan tak ada yang kuasa menahan itu. Ditambah hari raya nanti kepalanya akan bertambah jadi empat. Akan lebih berat terasa buat seorang Bujang yang
tak pernah tahu rasanya pelaminan. Kadang
ia punya seribu bahkan sejuta rutuk dalam
hati untuk almarhum Bapak yang semena-mena
mencatat nama akta lahirnya sebagai
seorang Bujang Kosasih. Bujang sudah pasti akan jadi namanya. Yang akan ia pakai dari tangis pertamanya hingga tutup mata selamanya. Bahkan akan dipahat pula di nisan pusaranya. Kosasih? Itukan nama
Bapak.
Pantas ia membujang
hingga kepala empat hidupnya. Nama itu
doa.
" Mak, tampaknya
tak jua bisa kupenuhi keinginan Mak
tahun ini, " kata Bujang suatu kali sebelum tarawih.
" keinginan mana Jang? " Mak berkerut dahi. "
keinginan Mak timang cucu lebaran ini.
Aini tolak aku punya
pinangan Mak. Ia lebih pilih pinangan
Anwar, pengusaha kayu kota seberang itu.
Orang tuanya juga tak mau punya menantu
yang punya titel Ketua Dewan Santri sepertiku
Mak, "
" tak usah kau paksa Jang, "
" tapi aku
kecewa Mak! Sakit hati aku berkali-kali. Dikhianati aku berlapis-lapis dan tak
jua kudapati istri! Kurang apa aku Mak?
Telah kunanti dan kuusahakan untuk
berada dalam pelaminan adat kita sejak
awal usia dua puluh! Kini dua puluh
tahun sudah itu lewat, tak jua kudapati
janji rejeki itu! " Bujang mulai geram. Entah pada siapa.
" sabar Jang,
belum tiba rejekimu..." kata Mak sambil
lalu. Ia memilih untuk tinggalkan Bujang sendiri. Tak ada guna juga ia temani buah hatinya itu yang kecewa setengah mati. Bujang
kini sendiri di kamar sepi. Harusnya diusia
ini ia sudah punya anak tiga lebih. Ia sering
janji tengah malam diantara doa. Akan ia sayang dan cintai buah hatinya sepenuh hati. Akan ia biayai yang terbaik untuk buah hatinya
nanti. Akan ia kirim ke Gontor untuk
belajar mengaji. Akan ia tabung rejeki
agar anaknya bisa kuliah al-Azhar di
negeri Nil. Akan ia beri yang terbaik.
Agar anak-anaknya tak jadi ustadz payah yang hanya jadi Ketua Dewan Santri. Namun
Gusti Allah punya rencana lain. Rencana yang
kadang ia maki saat ia sakit hati.
" hei Jang! Sampai kapan kau di kamar sana? " teriak Mak dari langgar depan.
" jadi imam kau malam ini! Cepat keluar! Agar Gusti Allah penuhi kau punya pinta. Ramadhan bulan dikabulkan doa! Santri-santri telah
tunggu kau punya punggung untuk imami
mereka dua puluh tiga rakaat malam ini!
Keluar! Lekas! " Bujang bergegas.
Ia hapalkan kata Mak dalam hati. Ramadhan.
Bulan dikabulkan doa.
***
Makin giat Bujang diatas sajadahnya tiap malam. Sedikit ia terlelap dimalam hari. Ia
lebih tenang dalam kutat di dalam surau
kampung. Ia haturkan beribu-ribu macam
doa. Ia tuturkan ratusan kali ia punya
keluh kesah. Ia limpahkan tiap pintanya
ditiap sujud panjang. Bujang memang
seperti itu. Dalam niatnya penuhi
keinginan Mak timang cucu.
Makin renta ia lihat
Mak tiap hari. Sepeninggal Bapak saat Bujang remaja dulu telah memutar semua kehidupannya. Ia lanjutkan pengabdian Bapak di pondok Wak Haji Ali. Teruslah ia disana bersama karpet-karpet lusuh berbau apek di sudut surau. Hidupnya antara pagi dan malam hanya berkutat disekitar
sapu dan kain pel surau. Ia putus ia
punya pendidikan.
Ia urus Mak yang hanya satu dan tak ada ganti di bumi ini. Itu pula yang
membuatnya jauh dari masyarakat kebanyakan.
Tak dikenal ia di penjuru desa. Jangankan
gadis, nenek renta tak ada yang mengenalnya.
Pantas saja Bujang sulit penuhi keinginan Mak untuk segera punya cucu. Walau ia sudah sakit hati dan jatuh hati berkali-kali setahun
sekali.
***
Malam tarawih telah lama usai. Esok malam tarawih terakhir disurau pondok Wak Haji Ali. Karena malam selanjutnya akan dipenuhi takbir tak henti-henti di penjuru negeri. Rustam,
anak pertama Wak Haji Ali, mengumpulkan
kepingan logam dari kotak amal yang baru
saja ia bongkar selepas bubaran tadi. " tak kusangka Jang, banyak pula
amal kali ini.
Ramadhan kali ini benar-benar rejeki. Sepertinya jadi surau kita diperbaiki, "
kata Rustam menatap Bujang di ujung
pintu. Bujang acuh dan malam lebih
menarik di luar sana. Rustam mendesah panjang. " kenapa pula kau Jang, tak semangat kulihat kau dari tadi. Bacaanmu waktu imam tadi juga tak gugah semangat jemaah seperti malam-malam lalu,
" Bujang tetap diam. " Jang, " Rustam mendekati Bujang sambil membawa bungkusan uang kotak amal.
" kenapa kau? Cerita padaku..."
" Gusti Allah bohong padaku Rus..." kata Bujang datar.
Mata Rustam membulat. Kerut di dahinya bertambah. " bohong apa Jang? "
" Ia tak dengar
aku punya doa, "
" Astagfirullah
Jang, tak boleh kau punya prasangka
itu," Rustam mengelus dada.
" tak juga Ia
penuhi janji rejekiku, tak juga Ia serahkan
jodohku, Ia tak pernah dengar doaku tiap
malam. Tak guna lagi aku meminta jika Ia tuli..."
" Jang! Ambil
wudhu dan segera sholat kamu! Mohon
ampun kau tiap sujudmu!" Rustam mulai marah.
" Kau enak Rus! Janji jodohmu telah kau dapat sebelum kau genap dua puluh! Anak-anakmu telah melampaui penjuru negeri!
Tapi lihat aku Rus!
Lihat!
Aku mulai renta dan tak ada yang mengurusku!
Harus bagaimana lagi kupenuhi hasrat manusiaku kala malam dingin tiba?!
Harus bagaimana lagi aku berusaha?! Harus seperti
apa lagi aku meminta?! Ia memang tuli
dan tak pernah dengar doaku Rus!
Berkali-kali aku sakit hati lalu jatuh
hati untuk sakit hati lagi! "
" Sabar Jang, istigfar, perbanyak dzikir..."
" dzikir bagaimana lagi Rus?! Ribuan kali Ia kusebut tiap malam! Sampai bengkak kakiku, bahkan telah putus tasbihku tadi! Padahal baru
dibelikan Mak di pasar kemarin
dulu," Bujang menangis di tengah
celanya. Putus asa ia sejadi-jadinya.
Rustam mengerti. Akan makan hati ia jika terus menegur Bujang kali ini. " Gusti Allah
telah merancang rejekimu, Sabarlah kau
sedikit lagi. Ini, simpan uang amal ini di rumahmu, harus disimpan baik agar surau cepat diperbaiki " Rustam menyerahkan bungkusan
itu dan meninggalkan Bujang menangis
sendiri.
***
Takbir berkumandang
tak henti-henti. Seperti bersahut-sahutan
tanpa spasi. Tak mau sediakan ruang
untuk diisi caci maki. Bujang sendiri di langgar rumah. Kopi telah dingin sebelum habis ia minum. Kosong tatapan ia pandang. Seperti tak penuh-penuh ia isi.
Walau dengan umurnya
yang akan jadi empat puluh esok pagi. "
Jang, diam saja kau di sini. Tak segera kau siapkan diri untuk esok pagi jadi bilal temani
Wak Haji?
" Mak datang temani sendiri agar tak sepi buat Bujang. " siap untuk apa Mak? Jadi
bujang tua diusia kepala empat esok
hari? " " masih kau risaukan itu Jang? " " Ia tuli Mak, tak
bisa lagi dengar doa Bujang " PLAK!! Tamparan keras tiba di pipi Bujang. Bujang terbelalak. Kaget ia bukan kepalang. Mata Mak me merah terbakar. Tak sangka ia punya anak penghujat Tuhan.
" Ia tak pernah tuli Jang! Doamu Yang bisu! " geram Mak bergetar. Seketika lutut Bujang
lunglai. Tak ada tenaga ia kuasa
berdiri. Matanya merah menahan air asin dari
sudut-sudut. Terungkup ia memegang kaki Mak.
" ampuni aku Mak, ampun..."
" bukan padaku Jang, pintakan ampun pada Dia yang telah kau anggap tuli! "
***
Sajadah lusuh Bujang tergelar lagi kini. Bujang berdiri dan bersujud serendah-rendahnya ia punya kuasa. Menangis ia sejadi-jadinya tanpa henti. Gema takbir tetap mengiringi walau
sudah sampai dini hari. Bujang tetap
setia dalam sujud permintaan ampun.
Diantara isak ia berdoa, Rabbi... Telah kau jatah tiap rejeki. Telah rata kau
bagi-bagi.
Tak kuasa aku menggugat penghasilanku di bumi. Rabbi... Tak pernah sekalipun kau tuli.
Doaku yang bisu tak terdengar sama
sekali. Timpakan balasan untukku yang
telah menghujatMu berkali-kali. Rabbi... Jika memang belum pantas aku terima
rejekiku, tahan lalu bantu aku pantaskan
diri. Agar pantas aku bersanding dengan
bidadari...
Belum usai Bujang haturkan doa kala ribut membuyarkannya. Keluar ia dirundung kalut. Ia tatap sepasang kekar bertopeng mengacak-ngacak
seisi kamar. Kerlingan tajam parang menyinari
seluruh ruang. Disisi lain Mak telah tertahan
disudut. Dialungi parang tajam dileher keriputnya.
Bujang berlari kearah Mak. Namun apa daya.
Ia tersungkur dan
mencium tanah karena dijegal kekar
berparang itu. " Bujang!! " suara parau Mak memenuhi seisi rumah. Bujang tergagap. Salah satu kekar
menarik kemejanya dan berkata
menyeramkan.
" kami butuh
uang!! Buat besok lebaran!! "
Bujang menggeleng ketakutan. Ia dilemparkan kesudut berdekatan dengan Mak.Mengalir segar darah dari kepala. Terbentur tadi ia disudut
meja. Mak menangis keras memeluk Bujang.
" Bang! Kantong ini banyak uang! " Seorang kekar keluar kamar membawa bungkusan uang kotak amal.
" jangan!! Itu uang amal!! " Bujang garang bukan kepalang.
Ia lempar kursi
kearah kepala kekar tukang jagal. Melesat cepat ia rebut bungkusan uang. Tapi apa daya, cepatnya kalah dengan kerlingan
parang. Tembus ia dari belakang.
Tersungkur lagi ia serendah tanah. Darah
merah membanjiri rumah. Mak
berteriak-teriak sekuatnya. Namun Bujang
tak lagi dengar. Sekilas ia lihat Rustam menyerbu masuk bersama belasan santri. Suasana sesak seperti
berkelahi. Rustam mengangkatnya dan
berteriak minta tolong. Tapi Bujang tak
kuasa lagi. Tergagap ia berkali-kali mengucap nama Gusti Allah yang tadi dia anggap tuli. Lalu gelap menyelimuti.
***
Sholat Idul Fitri telah rampung pagi ini. Tak ada khutbah lama kali ini dari Wak Haji Ali.
Karena sebuah keranda telah siap dimuka
surau. Berisi jenazah bilal sholat Idul
Fitri kali ini yang telah digantikan
Rustam tadi. Setelah selesai doa Wak Haji Ali segera berdiri untuk memimpin jemaah sholat lagi tanpa rukuk dan sujud. Untuk mengantar Bujang pergi berkalang tanah sesaat lagi. Rustam menatap
bangga ke arah keranda. Dalam hati ia
berkata, kau lihat Jang?
Rejekimu telah tiba sekarang. Ribuan penduduk kampung iri denganmu. Kau telah lindungi harta kami dari pencuri. Kau
tahu janji dari Tuhan yang kau anggap tuli atas kelakuanmu malam tadi? kau syahid Jang. Sekarang
kau mengerti kenapa tak jua kau diberi kekasih
hati. Karena tak ada yang pantas untukmu
selain bidadari. Selamat Jang... adzan
magrib. Bandung.
Tidak ada komentar