DRACULESTI EPISODE 5
Hari masi h berlumur
hujan. Velbudz basah dan
gelisah. Di sebuah padang rumput yang
luas ribuan prajurit
Khilafah Ustmaniyah mendirikan tenda-tenda
yang berwarna merah.
Di tengah-tengah tenda pasukan Ustmani
itu berdirilah tenda
yang pal i ng besar,
j uga berwarna merah.
Di hadapan tenda
itu tertancaplah sebatang tiang
bendera. Bendera mer ah Khi l af ah Ustmaniyah menguncup dan terikat di sana, basah ol eh
hujan.
Semua pasukan
bersi aga. Sebagian di dalam
tenda, sebagian lagi
di luar dengan
menggunakan mantel-mantel penahan hujan. Di
dalam tenda besar
itu ada sebuah meja
bundar. Pelita berpendar
di atasnya, menerangi
semua. Di atas meja itu
digelarlah selembar peta
yang menggambar kan Semenanjung
Balkan yang luas dan masyhur itu. Meja itu dikelilingi oleh orang-orang
pal i ng penti ng di
dal am Kekhilafahan Ustmani. Sul
tan Murad melipat
tangannya di depan
dadanya. Sel endang
sorban melimpah di bahunya dan baju
zirah dari logam-logam ringan melekat di tubuhnya.
Di bagian paling
luar ia mengenakan jubah yang panj ang
sampai ke beti snya.
Waj ahnya teduh dan
tenang. Janggut dan
kumisnya lebat, namun tidak
terlalu panjang. Matanya cokelat bening, menatap tajam kepada peta.
Berdiri di kanan-kiri Sultan Murad,
turut memperhatikan peta, adalah
putera-puteranya, Bayazid dan
Yakub. Keduanya masih muda dan tangguh.
Api jihad berkobar di dada mereka
karena
didikan Sultan Murad yang
ketat dan disiplin. Bersebelahan dengan Bayazid berdirilah seorang ulama muda yang penuh dengan semangat jihad, namanya Hassan
bin Mahdi.
Ia
adalah sahabat karib Bayazid,
bermain dan tumbuh bersama-sama sejak kecil. Ia selalu memberi nasihat-nasihat kepada
Sultan Murad tentang kepemimpinannya. Dekat dengan Yakub
tegak pula seorang
penasihat militer Sultan
Murad yang bernama Ehseneddin Hizirtoglu. Badannya besar dan kekar, walau usianya sudah l
anj ut namun ketangkasannya tak terkalahkan. Kumis, janggut, dan jambangnya sudah memutih, tapi itu
semua tidak menunjukkan bahwa dia
emah sedikit pun.
“Telah beberapa waktu kita menduduki Velbudz, alhamdulillah semuanya berjalan lancar,” kata Sultan Murad,
“tinggal
kita tentukan bagaimana langkah
kita untuk menindaklanjuti seruan kita kepada para pemimpin itu.” Semua or ang memperhatikan.
“Kita akan membagi dua pasukan
kita. Bayazid, Yakub, kalian
berdualah yang akan mengomandani masing-masing pasukan itu.
Bayazid, kau akan mengepung Serbi a
karena ternyata mereka menolak
seruan ki ta. Saat matahari
menyingsing segeralah kau pimpin pasukanmu
ke sana untuk menjemput
salah satu dari
dua kemuliaan. Bukalah wilayah
Serbia untuk Islam.” Sultan Murad
menggeser penanda-penanda kayu
yang mewakili pasukan-pasukan, memindahkannya menuju wilayah Serbia yang ada di peta.
“Siap,
insya Allah,” sahut Bayazid.
“Jangan
menghancurkan gerej a, jangan
membunuh perempuan, anak-anak,
dan orang tua. Jangan
membunuh para pendeta.
Dan jangan mengusir orang-orang
dari rumah-rumah Bayazid mengangguk. Hasan bin Mahdi, syekh muda itu, tersenyum.
“Aku akan menyertai Bayazid.”
“Baiklah,”
sahut Sultan Murad,
“penyerangan ke Bosnia akan ditunda, karena kabar yang kudapat adalah pasukan Bosnia sedang bergerak menuju Serbia. Jadi kita hadapi mereka sekaligus di
Serbia, setelah Serbia
kita taklukkan barulah
kita datangi Bosnia.”
“Yakub,”
lanjut Sultan Murad,
“kau
akan menyerbu Tarnovgrad
kal au Bul gari a menolak seruan kita, aku minta J e n d e r a
l Ehseneddin
menyertai Yakub.”
“Insya Al l ah,” Eh s e n e d d i n mengangguk.
“Aku pun akan
menyertai Yakub,” Sultan Murad menghembuskan napasnya,
mengusir dingin benua Eropa yang menyergap wajahnya.
“ Kal au ki t a membagi pasukan kita seperti i ni ,
apakah jumlahnya masih
akan memadai ?” Yakub bertanya
pada ayahnya.
“Bagaimana kalau nanti jumlah
pasukan musuh lebih banyak dari
jumlah pasukan kita?” Sul tan Murad tersenyum.
“Kita tidak berperang
karena jumlah pasukan, tapi karena janji
Allah bahwa Dia akan menolong
kita.
Telah berkali-kali
terjadi bahwa pasukan yang
lebih sedi ki t mampu mengalahkan
pasukan yang jumlahnya
lebih banyak dengan pertol ongan
Al l ah. Lihatlah di dada setiap prajurit
kita api jihad berkobar besar
karena mengharap kemenangan dari
Allah. Sementara orang-orang
kafir itu kehilangan semangatnya karena
mereka tahu kal au
mereka mati mer
eka t ak
akan mendapatkan apa-apa.
Dengan membagi
pasukan seperti ini kita akan
mendapatkan dua kemenangan sekaligus. Kita
akan membuka Serbia dan Bulgaria.
” Yakub mengerti. “Insya Allah
kita ak an mer ai h kemenangan,”
tambah Ehseneddin,
“karena begi tul ah
sekarang kondi si mer eka.
Semangat mereka sedang kendur. Kita akan menang, insya Allah kita akan menang”
“Yang penting kita tetap
menolong agama Allah dengan
berjihad di atas jalanNya. Allah pasti akan menolong kita, Dia sudah
berjanji,” Syekh Hasan menguatkan
Yakub, yakinlah
akan pertolongan Allah,”
Sultan Murad menepuk bahu puteranya.
Terdengarlah suara salam dari tirai
pintu tenda. Hadirlah seorang prajurit yang memakai mantel dengan air hujan menetes. Mereka menyahut salam itu.
“Fregadovic sudah
datang, Sultan,” katanya. “Oh,
alhamdulillah, cepat suruh dia masuk.
” Tak beberapa lama kemudian Fregadovic sudah hadir di hadapan orang-orang penting itu.
Dia memakai mantel dan basah kuyup. Dia melepas mantelnya dan menggantungkannya di sudut tenda. “Fregadovic, mari
silakan duduk,” Sultan Murad
melayangkan tangannya.
Mereka semua
berjalan dan duduk melingkar di
atas sebuah dipan kayu yang dilapisi
karpet berwarna hijau. Ada keanehan yang
dirasakan hati Fregadovic. Dia bisa
duduk sama rendah dengan
pemimpin sebuah negara besar,
Khilafah Ustmaniyah, dalam jarak
yang sangat dekat. Padahal dia orang kafir. Dia tidak pernah mendapatkan penghormatan sebesar itu.
“Bagaimana, Fregadovic?” Hati Sultan Murad penuh dengan rasa ingin tahu.
“Aku sudah
menyampaikan surat Sultan
kepada Kaisar Ivan Alexander.
Aku pun mendengar isinya dibacakan. Tapi
Kaisar Bulgaria itu tak menjawab
apa-apa. Kemudi an di a menyuruhku
untuk menghadap Sultan sambil berkata
bahwa aku sudah
mengetahui jawabannya.
Hanya begitu saja. Setelah itu dia membahas pengerahan pasukan dengan bawahan-bawahannya. Dia akan
membawa pasukannya ke Kosovo karena
telah datang utusan
dari Serbia meminta bantuan padanya. Sepertinya medan perang akan pindah ke Kosovo.”
“Oh
begitu, kalau dia mengerahkan pasukan tandanya
di a menol ak seruanku.”
“Di a mengi ri mkan pasukan ke Kosovo dengan tetap
mempersi apkan pengerahan pasukan
di Tarnovgrad,” lanjut Fregadovic.
“Kalau begitu
sudah jelas. Yakub,
kau ke Tarnovgrad. Bayazid, kau ke Kosovo.
Berjuanglah demi kemenangan Islam di sana.” Sultan Murad
menatap Fregadovic,
“Ivan Alexander sendiri akan berada di mana?” “Dia akan
bergabung dengan pasukan yang
berangkat ke Kosovo.”
“Kalau begitu aku akan ke Kosovo. Aku ingin
bertemu dengannya di medan perang,” Sul tan
Murad mengubah keputusannya.
“ Bai kl ah, aku ucapkan terima
kasih kepadamu, Fregadovic,” kata
Sultan Murad,
“kau bol
eh kembal i ke tempatmu.”
Fregadovic malah menunduk
dan terdiam, kemudian
dia menatap Sul tan
penuh harap.
“Bolehkah aku
bicara sesuatu, Sultan?”
“Kalau
ada yang bisa aku lakukan untukmu, ak u ak
an mengusahakannya.” Sahut Sultan Murad.
“Aku ingin memeluk Islam.” Mendengar apa yang
dikatakan Fregadovic semua orang di
tenda itu terkejut. Mereka menatap penuh keheranan kepada Fregadovic.
“Benarkah i tu?” Tanya Syekh Hasan.
“ Kau ser i us?”
Bayazid penasaran. Fr egadov ic mengangguk
tenang.
“Sepanjang perjalanan
menuju kemari aku sudah memikirkannya.
Aku kagum kepada isi suratmu, Sultan.
Kalau memang begitu aturan Islam, maka
aku tak bisa membohongi diriku sendiri,
aku harus memeluk Islam. Aku bersumpah akan menjadi orang Islam sejati.”
“Subhanallah, alhamdulillah,” Sultan
Murad memuji Allah,
“betapa bahagia
kami mendengarnya. Syekh, kalau begitu segeralah kau atur.”
“Baik, Sultan,” sahut Syekh Hasan.
Semua orang
tersenyum, dan menjabat
tangan serta memeluk Fregadovic. Kebahagiaan itu tak terkira. Sultan
Murad menepuk lagi bahu Yakub,
“kau lihat, kemenangan Islam sudah datang sejak malam ini, insya Allah esok pun kita akan menang.” [Sayf Muhammad Isa] Bersambung..
Tidak ada komentar