QUEEN FITAS BY KAILIYA AML
Braak!
Titas membanting tas nya ke atas
kasur. Ia lega berada di rumah, paling
tidak ia bisa menahan amarahnya supaya
tidak meledak di depan umum tadi. Ia
membaringkan badannya di atas kasur
sambil mengingat kejadian memalukan di
sekolah siang ini. Titas yang cantik, popular, menarik, cerdas, dan kaya. Siapa yang berani menolak ajakannya?
Hanya orang bodoh yang gak punya mata! Pikirnya gusar. Orang bodoh yang tidak punya
mata itu bernama Ridho.
Muhammad Aufa Ridho. Ia tinggi, putih, berperawakan bak model. Rambutnya yang bagus, giginya yang putih brsusun rapi hingga tampak menawan hati ketika
ia tersenyum. Tidak cuma hati Titas yang
berbunga-bunga melihat Ridho tersenyum,
tapi juga hati seluruh cewek penghuni
SMA Cakrawala 27. Siang ini di kantin..
“Ridho! Boleh ngobrol sebentar?”
Titas mengejar langkah Ridho yang
panjang.
“Ngobrol apa?” Ridho menjawab tanpa
mengurangi kecepatan langkahnya.
“Kita bisa duduk?” Rajuk Titas.
Ridho berhenti, tapi tatapannya tetap terpaku pada tanah, satu hal yang tidak Titas suka. “Could
you stop seeing the land? I am here!!
Talking to you!” protesnya.
“Maaf, Tas. Kalo ada yang mau
diobrolin sekarang aja. Di sini. Saya
masih banyak urusan. Rapat Rohis dimulai
15 menit lagi.” Titas menyilangkan
tangannya ke dada.
“Oh, OK! Jadi ini cara anak Rohis
mengobrol sama lawan bicaranya?”
“Titas. Maaf. I gotta go.” Ridho
berlalu.
Titas marah. Ini pertama kalinya ia
diperlakukan tidak sopan. Sebelumnya ia
selalu diterima. Mom and Dad yang selalu
memanjakannya, teman-teman yang selalu apresiatif terhadap apa yang ia bicarakan. Sementara saat ini, seorang cowok yang baru sebulan lalu ia kenal namanya
menolak diajak berbicara.
“How dare he is!” Titas
uring-uringan di kasur sampai ia tertidur.
Queen Titas Prawira. Putri tunggal
keluarga Prawira. Anak gadis yang
malang, punya segalanya tapi satu hal
yang tidak bisa ia miliki selama
hidupnya. Perhatian Mom and Dad. Keduanya
bercerai saat Titas berusia 10 tahun, ia sekarang tinggal bersama kakeknya, Sani
Prawira, Ayah Dad. Hanya satu tahun
sekali Titas bisa bersama Mom and Dad.
Mom seorang mantan model dan sekarang memiliki butik di Milan. Mom orang Inggris tapi punya darah minang, ia terjun ke dunia modeling saat masih SMA, kemudian bertemu dengan Dad saat show di Jakarta. Saat ini, Ia menikah lagi dengan
seorang muallaf asal Jerman,
pernikahannya sudah dua tahun lalu, tapi
Mom belum juga hamil.
Sementara Dad menetap di sini, di
Indonesia. Ia pemilik agency ternama di
Jakarta yang telah mengorbitkan banyak
artis. Sebenarnya Dad berkali-kali
memintanya untuk casting, tapi Titas ogah.
Dia memilih untuk jadi remaja biasa tanpa ketenaran. Ia takut seperti Mom yang menurutnya, telah gagal menjadi seorang Ibu. Dad sendiri sedang menjalani hubungan dengan modelnya pula, Faranita namanya. Perempuan yang selalu nggak pernah lengkap bajunya.
Titas sangat tidak suka. Bule yang satu
itu sangat tidak punya etika, pikirnya.
“Kenapa sih, Dad gak pernah cari
calon Ibu untuk aku yang lokal aja?”
Tanya Titas satu hari.
Dad malah senyum dan tidak
menjawab, ia terus menatap laptopnya
lalu beberapa menit kemudian pergi
meninggalkannya.
“Dad ada janji sama klien, pulang malam. Kamu makan malam berdua sama Opa ya?! Jangan tunggu Dad. Ah.. one thing, dear. Kamu mau pesen apa? Nanti Dad bawain kalo sempet.” Titas hanya menggeleng lemah. Sore di
rumah Titas.
“Kak Titas. Sudah sore, jam 5 nanti
ada les bahasa mandarin, Kak. Bangun…”
Terdengar suara pintu kamar Titas
diketuk. Itu Nurma, anak tukang kebun di
rumah keluarga Prawira, Pak Fadli
namanya. Pak Fadli telah mengabdi sekitar 7 tahun lamanya. Beliau baik dan rajin.
Mungkin itulah sebabnya Opa tidak mau
memecat Pak Fadli dan mungkin tak akan
pernah.
Pak Fadli dan Nurma tidak menginap di rumah keluarga Prawira. Pak Fadli hanya bertugas pagi hari sampai jam 10, selebihnya mungkin Nurma yang terkadang datang membantu Bi May dan Bi Ani mengurus rumah tangga. Nurma dua tahun di bawah Titas, ia kelas XII di salah satu SMPN favorit di Jakarta. Nurma anak yang cerdas dan
shalehah. Titas membuka pintu.
“Iya, Nur. Boleh minta buatkan aku
jus tomat? Haus..” Pintanya setengah
terpejam.
“Kak Titas capek ya? Tumben
siang-siang tidur.”
“Lumayan. Ya udah gih buatin. Cepet!” Perintahnya, seperti biasa, dengan agak kasar.
“Beres, Kak.” Nurma sudah biasa
diperintah seperti itu. Ia maklum akan
watak Titas yang tak pernah bisa
menerima penolakan.
Esoknya di pelataran parkir SMA Cakrawala 27 Ridho memarkirkan sepeda
motornya. Baru hendak berjalan menuju
kelas Titas menahan langkahnya.
“Kamu masih utang sama aku.
Pembicaraan kita yang kemarin belum
selesai.” Tembaknya langsung tanpa
basa-basi.
“Gini ya, Titas..” Ridho berusaha
mencari kalimat yang pas untuk
menjelaskan pada Titas soal alasannya.
“Di sini bukan di Inggris yang bisa
seenaknya bicara apalagi berdekatan
dengan lawan jenis.”
“So? Who cares?” “Tas, kamu islam
kan? Apa di sana kamu gak diajarin
tentang etika bergaul yang islami?” Titas
menautkan kedua alisnya. Tidak mengerti.
“Dalam islam, lelaki dan perempuan
non-muhrimnya itu sangat dilarang bergaul bebas seperti ini. Berbicara tanpa ada kepentingan, menyepi berdua..”
“Wait. Tadi kamu bilang tanpa ada kepentingan? Ini penting! Makanya aku pengen bicara.” Sergahnya cepat.
“Alright, Tell me. Seberapa
pentingnya?”
“Aku suka sama kamu. Aku mau kamu
jadi pacarku.” Hening.
Sebuah kalimat yang meluncur jujur dari bibir mungil Titas. Ridho melongo. Betapa pengaruh barat membuat gadis ini cuek bebek. Ridho tak habis pikir menghadapi polah cewek blasteran ini yang berdiri persis hanya beberapa meter dari dirinya.
“Astaghfirullah, Titas. No, not
like this.” Ridho menggaruk kepalanya
yang tidak gatal.
Ia benar-benar dibuatnya bingung. “What do you
mean?” Titas masih belum mengerti arah
pembicaraan Ridho.
“OK. Sepertinya orang tua kamu
belum mengenalkan islam secara mendalam
ya dari kecil?” Titas menggeleng lemah.
“Mereka bercerai. Aku bahkan tidak kenal
mereka” Kekesalan Ridho berubah jadi iba.
Tahulah dia apa sebabnya selama ini Titas bertindak seenaknya. Dia hanya butuh teman bicara. “Listen..
Yang kamu butuhkan bukan pacar, Tas.
Tapi sahabat. Seorang sahabat yang akan mengenalkanmu
pada indahnya islam.”
“You want to be my friend?” Matanya membulat.
“Bukan saya, tapi akan saya carikan sahabat
yang tepat dan dia harus perempuan.”
“Why not you?” Titas kecewa.
“Nanti kamu akan tau setelah banyak
sharing dengannya.” Setelah itu, Ridho berlalu meninggalkan Titas yang masih
tercenung. Sebetulnya ia sadar bahwa
tindakan barusan adalah tindakan yang amat bodoh. Baru sekali ini ada lelaki seperti
Ridho. Cuek, tapi ramah.
Eksklusif tapi tak terkesan sombong. Ia elegan, dengan
gaya yang dingin dan semakin membuat
Titas penasaran. Titas menerawang. Seharian ia tidak konsen belajar. Dalam
perjalanan pulang pun tidak ada cerita,
ia diam dan berpikir, berusaha mencerna maksud
perkataan Ridho. Islam? Titas tahu itu agamanya, tapi dia tidak pernah sholat.
Mom and Dad tidak pernah mengajarinya. Dia tahu
Al-Qur'an itu kitabnya, tapi dia tidak
pernah membacanya. Al-Qur'an hanya ada di meja belajarnya. Tanpa berusaha dibaca atau dipelajari. Titas
tidak mengerti kenapa hurufnya dibuat
serumit itu? Dad pernah mendatangkan guru ngaji waktu dirinya masih kecil, tapi ketika ia beranjak
remaja, Dad malah menggantinya dengan
guru Mandarin. Terrible!
Sore hari di taman belakang rumah Titas. Nurma
mengantarkan dua potong sandwich dan segelas susu strawberry pesanan Titas. Ia meletakkannya di
meja kecil dekat ayunan tempat Titas
duduk. Titas memperhatikan Nurma. Dia tampak anggun dengan kerudung putihnya.
“Kamu udah lama berkerudung ya,
Nur?” Tanyanya polos.
Bukankah setiap hari ia bertemu dengan Nurma lengkap
dengan kerudungnya. Kenapa baru ditanya
sekarang? Gumam Nurma dalam hati. “Sejak dua tahun yang lalu, Kok Kak Titas
baru Tanya sekarang?”
“Emang kamu gak gerah pake baju
selonggar itu, lebih mirip jubah deh.”
Bukannya menjawab ia malah balik bertanya. Namun, Nurma senang, paling tidak Titas mau peduli dengan jilbab
yang ia kenakan. Selama kurang lebih dua jam mereka berbincang. Titas bertanya banyak hal dan Nurma menjawab semuanya. Titas
menjawab dengan ber-oo atau mengangguk. Berbagai pertanyaan melontar begitu
saja. Seringkali Nurma dibuatnya
tertawa. Ia tahu sebenarnya Titas itu baik, hanya saja ia begitu rapuh dan butuh banyak perhatian.
Mungkin dengan bersikap sok bossy, Titas merasa lebih diperhatikan.
Pembicaraan mereka terhenti saat azan
maghrib berkumandang.
“Kak, shalat maghrib, yuk! Kita
jama'ah.
Kita ke mushala di ujung jalan ini.” Ajak Nurma. Titas mengiyakan. Kata-kata
Nurma terus terngiang-ngiang dalam benaknya.
“Hubungan antarlawan jenis itu diatur banget dalam
islam, Kak. Kita gak boleh menyepi
berdua, saling pandang-pandangan, saling bersentuhan, saling berinteraksi yang sebenarnya gak penting-penting
amat,”
“Why? It is weird, Nurma. Termasuk
pacaran donk. Itu juga gak boleh?”
“Yup. Betul sekali. Allah kan sudah
memerintahkan dalam Al-Qur'an. Wala
taqrobu zina. Janganlah kalian mendekati zina, sementara dalam pacaran kan, kita interaksi terus, gak penting
lagi. Begitu, Kak.” “Tujuan Allah itu apa? Melarang kita pacaran? Nanti gimana cari suaminya?”
“Tujuannya untuk menjaga izzah atau
kemuliaan wanita, Kak. Supaya mereka
lebih dihormati dan gak dilecehkan. Kalo mau cari suami, ta'aruf aja” What is that?
“Pendekatan ala islam dengan tujuan
pernikahan. Jadi, kalo hati sudah mantap
ingin menikah barulah boleh berinteraksi
dengan lawan jenis. Tapi, caranya pun tidak dengan berduaan. Saat mereka ngobrol tentang
masa depan dan rencana berumah tangga,
tetap harus ada muhrimnya.
” Titas mendapatkan banyak hal sore
itu. Sedikit demi sedikit ia paham soal
sikap Ridho yang tidak mau menatapnya langsung.
Nurma bilang para ikhwan wajar seperti itu, katanya sih namanya ghadul bashar, menjaga pandangan.
Dia juga mengerti kenapa anak-anak Rohis memakai hijab
kalo mereka berkumpul. Islam itu indah
ternyata, aturan yang berasal dari langit.
Titas teringat Mom dan Dad. Mereka tidak mengajari Titas tentang agama mulia ini. Itu karena mereka pun
tidak mengerti. Dad aja lagi pacaran. Ia
teringat dengan pacar Dad, Faranita, si model seksi itu,
“Dad salah. Seharusnya mereka gak
boleh pacaran. Apalagi Faranita non-muslim.” Titas menarik napas panjang. Ia
memainkan ujung rambutnya dengan
telunjuknya.
==
“Aku mau berjilbab, Nur.” Ujar
Titas ketika mereka kembali berbincang
di taman belakang rumahnya. Senyum Nurma berkembang.
“Kakak yakin?” Titas mengangguk
cepat.
“Masa aku kalah sama kamu. Kamu kan
baru kelas tiga SMP. Aku ni dua tahun
lebih tua, seharusnya lebih mengerti.”
“Kakak udah mantep berjilbab? Gak ada acara
bongkar pasang ya.
Dimanapun Kak Titas harus
berjilbab, kecuali di dalam rumah yang isinya muhrim Kak Titas semua. Gimana, siap?”
“Aku siap, Nur. Aku mau mengejar
ketinggalan. Hmm.. Kamu mau ajarkan aku
islam lebih dalam, please?” Please? Tadi Kak Titas bilang please? Hihi.. gadis
yang hobinya bentak-bentak sekarang lagi
mohon-mohon minta diajarin islam.
Subhanallah.. Ternyata hidayah
Allah telah menyentuhnya. Terima kasih ya, Allah. Engkau telah mengizinkan aku jadi
wasilah untuk Kak Titas. Nurma berbisik
dalam hati.
“OK, Kak! Dengan senang hati.” “Nanti malam
antarkan aku beli jilbab yang banyak, ya. Malam ini kamu nginap di sini aja. Biar aku yang bilang
sama Pak Fadli.” Nurma mengiyakan.
==
Sudah seminggu ini Ridho tidak
melihat Titas di sekolah. Setelah percakapan
itu, Titas tidak pernah lagi mengganggunya. Ridho tak habis pikir menanggapi sikap Titas.
“Huh, dasar produk luar. Ngomongnya gak di
saring dulu sama otak. Cantik sih, tapi
sayang gak shalehah.” Tiba-tiba ia membayangkan wajah Titas dibalut kerudung.
“Astaghfirullah 'al adzim!” Ridho
segera mengusir bayangan itu.
“Woy! Lagi melamun jorok ya?”
Dimas, teman sebangku Ridho menepuk
punggungnya. “Hussh! Ngaco kamu, Dim. Udah ah, aku mau ke mushala dulu, shalat dhuha. Mau ikut?”
“iya, nanti aku nyusul. Eh, udah denger gossip
baru? “Kamu nih! Gak pantes jadi anak Rohis. Udah nuduh yang tidak-tidak, suka ngegosip pula!”
“Tapi ini soal ratu kita, Do! Queen
Titas!” Ridho menyurutkan langkah, ia
sebenarnya ingin mendengar, tapi.. Astaghfirullah. Lagi-lagi hatinya menentang. Bergunjing itu dilarang
Allah.
“Sorry, Dim. I am not interested.” Diam-diam
RIdho menyimpan kekaguman pada diri Titas.
Yes, right! She is perfect as a girl. Tapi, Ridho cukup
menyimpannya dalam hati dan tidak akan
pernah mengungkapkannya. Selain membuat kotor hati, ia pun menyadari siapa dirinya. Ayahnya yang bekerja
sebagai tukang kebun di rumah Titas,
tentu akan dihina Titas kalau saja dia tahu. Walaupun sebenarnya Ridho bangga terhadap sang Ayah
yang mampu bekerja jujur hingga jadi
orang kepercayaan keluarga Prawira, ia tetap ingin menyembunyikan hal ini dari gadis itu.
Ia hanya enggan, terlebih pengakuan Titas tantang perasaannya. Titas
pasti akan merasa terhina, pikirnya.
Padahal Ridho tahu bahwa Allah tidak membedakan hamba-Nya berdasarkan profesi yang dimilikinya. Ia sama
sekali tidak menyoalkan profesi sang
Ayah. Hanya saja, ia ogah berurusan dengan Titas. Semuanya akan tampak runyam
jika nona muda manja itu berperan.
“Ah.. Forget it! Aku harus membuktikan diri dulu. Baru
kupikirkan masalah hati.” Ia pun memulai
shalat dhuhanya… “Pokoknya aku mau ke
rumah Pak Fadli!!” Desak Titas terhadap Nurma
dan ayahnya. Wajahnya yang merona tampak anggun dengan kerudung putih barunya itu.
“Tapi, Non! Rumah bapak gak nyaman.
Sempit, gak sebesar rumah Opa.”
“Bodo amat. Bapak tega banget sih. Emang sampe
segitunya ya? Aku gak boleh silaturahmi
sama keluarga di rumah??” Nurma meremas-remas tangannya, sebetulnya yang lebih
ia khawatirkan adalah pesan kakaknya,
jangan sampe Titas tau soal kakak ya,
Nur.
Bisa jadi ribet nanti.. “Bukan
begitu, Kak! Boleh kok. Kapan kakak mau ke rumah kami?” “Sekarang juga. Siang
ini.” Sahutnya cepat. “Apa?! Oh.. Iya, boleh.” Semoga Bang Ridho pulang telat,
batinnya. Titas belum banyak berubah. Dia masih suka memaksa dan segala kehendaknya harus terlaksana. Nurma tidak
banyak protes, ia memaklumi. Titas
segera berlari masuk ke dalam rumah.
Setengah jam kemudian, Titas telah berganti pakaian,
sungguh cantik. Ia mengenakan jilbab
pink lembut dengan kerudung berwarna senada.
“Ayo berangkat, Nur.” Titas
menggamit lengan Nurma. Nurma mengikutinya.
“Pak, aku antar Kak Titas dulu ya.
Assalamu'alaikum.
” Pamitnya. “Wa'alaikum salam.
Hati-hati kalian berdua.” Dari kejauhan Pak Fadli menggelengkan kepalanya seraya bertanya-tanya
dalam hati. Non Titas dan Nurma kenapa
belakangan ini begitu akrab sekali ya? Beliau lalu melanjutkan pekerjaannya kembali.
Mereka mengendarai mobil Honda CR-V
milik Titas. Ia begitu tampak berkelas
di belakang kemudinya. Pantas Bang Ridho menyukainya, pikir Nurma diam-diam.
“Hayo, lagi mikirin apa?” Nurma terhenyak. Pikirannya
melambung kemana-mana. Ikhwan seperti
Bang Ridho harus pintar-pintar menyembunyikan
perasaan. Kalo tidak, bisa gawat!
“Gak. Kak Titas cantik! Pasti banyak fans nya.
Harus hati-hati, Kak!” Sahut Nurma.
“Hahaha.. Tenang, Nur. Semenjak aku berkerudung,
cowok-cowok di sekolah jadi pada segan.
Aku seneng deh, jadi kayak ada yang
jagain gitu.” Ungkapnya senang.
Mereka telah sampai di sebuah rumah
sederhana di pinggian kota. Halamannya
tidak luas, tapi terlihat begitu asri dan nyaman. Titas memberhentikan mobil pas di depan pagar.
Terlihat seorang ibu di halaman sedang
menyapu pekarangan. Mereka turun dari mobil, Nurma mencium tangan ibu itu, diikuti Titas.
“Kak, ini ibu ku.” Titas tersenyum.
“Non Titas, makasih banyak ya
kemarin sudah ngajak Nurma jalan-jalan, dibelikan jilbab banyak sekali.”
Melihat si Ibu dan Nurma yang bisa saling
berangkulan seperti itu, Titas jadi ingat Mom. “Tidak apa-apa, Bu. Titas malah
senang, Nurma sudah ngajarin Titas banyak
hal. Anggap aja itu hadiah dari Titas.” Sang Ibu merangkulnya. Begitu hangat, Titas seolah enggan melepasnya.
“Non baik sekali. Semoga Allah
merahmati.” Mereka kemudian masuk ke
rumah.
Ibu sedang menyiapkan jus tomat
dengan susu yang banyak. Nurma yang
menyarankan.
“Itu minuman kesukaan Kak Titas, bu.” Titas sempat heran, rumah keluarga ini
sederhana sekali, tapi cara mereka menyuguhkan
tamu begitu mewah.
“Memuliakan tamu itu sangat
dianjurkan Rasulullah, Kak. Bahkan dulu
para sahabat sampai merelakan jatah makanan anak-anaknya demi tamu mereka.
” Nurma menjelaskan. Titas
manggut-manggut. “Ternyata masih banyak hal yang tidak aku ketahui ya, Nur
tentang islam. Ajarkan aku lebih banyak
lagi ya.” Nurma menyanggupi.
“Bertahap aja ya, Kak! Soalnya aku juga masih
banyak belajar. Jadi di sini kita
sama-sama belajar. Kak Titas juga cari informasi dari yang lain, ikutan Rohis misalnya, boleh juga baca-baca
buku islami.”
“Eh, ngomong-ngomong kamu belajar
Islam dari mana?” Tanya Titas spontan.
“Ng.. dari Ayah sama sama Ibu, Kak!
Sama.. dari.. Kakakku.” Jawab Nurma agak
ragu.
“Kamu punya kakak?? Kok gak pernah
cerita?”
“Iya.. soalnya gak penting, Kak.”
Nurma memutar bola matanya.
“Siapa tahu aku bisa lebih banyak belajar juga
dari kakak kamu. Boleh, kan?” Nurma
menggigit bibirnya. Aduh, bagaimana ini? “Terus mana kakakmu? Kok Gak
keliatan?” Beberapa menit kemudian terdengar suara motor yang berhenti di depan
rumah Nurma.
“Assalamu'alaikum..”
“Wa'alaikum salam.” Ucap mereka
serentak dari dalam rumah.
“Wah, kayaknya ada ta..
Ti..Titas?!” Ridho yang berdiri di depan pintu menatap nanar kearah gadis yang kini telah
anggun dengan jilbabnya.
Titas pun heran, jadi Ridho dan Nurma? Mungkinkah
mereka bersaudara?
“Kamu sama Nurma? Adik kakak?” Terlihat Nurma
menatap kakaknya,
tatapan yang mengemis maaf. Ridho pasrah, mau
bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi.
Ia tinggal menanti ekspresi Titas, mungkinkah menamparnya, mendorong dan memukulnya, atau hanya berteriak
“AKU NGGAK MAU KENAL SAMA ANAK RENDAHAN KAYAK KAMUUUU”
“Wah, Asyik!” Seru Titas menepuk
kedua telapak tangannya. “Berarti kita bisa mengkaji islam bareng. Ridho mau
kan? Kamu gak bisa nolak! Kalo alasannya
kita bukan bukrim..”
“Muhrim, Kak Titas. Bukrim mah
sabun colek!”
“Iya apalah itu. Pokoknya yang penting kan
kita gak berdua, Do. Ada Nurma! Horeee..
asyik. Besok kita mulai dengan… hmm.. pergi ke toko buku!! Pulang sekolah kamu langsung ke rumah
aku bareng Nurma ya. Ok, Ridho!”
Cerocosnya.
Perasaan Ridho campur aduk mirip
gado-gado. Reaksi yang mengejutkan.
Gadis ini memang aneh! “Ayolah, Ridho! Nolak dosa!!” Ancamnya agak kurang masuk
akal.
Ah, namanya juga Titas! Akhirnya Ridho mengangguk
lemah. Ada sedikit perasaan lega. Ia kemudian
ber-istighfar dalam hati karena telah ber-suuzon pada Titas, anak manja yang aneh dan keras kepala itu. Ia hanya
meminta pada Allah supaya tetap dijaga
hatinya dari indikasi-indikasi virus merah jambu. Ya Allah istiqamah kan hatiku, aku ingin membimbing
gadis ini.
Ridho masuk kamar dengan perasaan
yang sulit dikatakan (bahkan ditulis
sekalipun). Sayup-sayup ia mendengar percakapan Titas dan adiknya.
“Kenapa kamu gak cerita dari dulu
sih sama aku kalau Ridho itu kakakmu.”
“Emang kenapa, Kak?”
“Ya kalo gitu kan aku bisa seneng
dari dulu. Ridho bisa bikin aku semangat!”
Jawabnya blak-blakan tanpa ragu. Nurma ber-ha- sambil menautkan alis tebalnya.
Dari balik pintu, Ridho mengusap
wajahnya dengan tangan kanannya lalu
mengacak-acak rambutnya. Ya Allah.. Harus banyak-banyak istighfar nih… []
Tidak ada komentar