ANAK BARU JANGAN BELAGU
Haduh, senangnya naik kelas. Buku baru, tas baru, temen baru, (berasa anak SD) dan nggak ketinggalan juga segudang masalah baru. Buat yang lulus-lulusan berarti sekolah baru dan suasana baru, yang mengharuskan diri kita beradaptasi dengan segala hal yang baru tersebut. Buat D'RISEr yang tahun ini sekolah ke SMP atau SMA bakal ketemu yang namanya MOS (Masa Orientasi Siswa) atau MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik).
D'RISEr yang lulus SMA dan memasuki gerbang perguruan tinggi akan menemukan yang namanya OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) dengan berbagai modifikasi istilah dan singkatan tergantung kampus mana yang D'RISEr masuki. Yep, bulan ini kita bakal ngobrol soal adanya ritual perpeloncoan di dalam acara penerimaan penduduk-penduduk baru
di sekolah dan kampus itu.
The Truth of Peloncoisme Pada awalnya acara-acara macam MOS dan OSPEK itu bertujuan mulia untuk memandu anak-anak baru agar lebih mengenali lingkungan baru mereka dan lebih mudah beradaptasi di sana. Tapi sayangnya semua tujuan mulia itu udah jauh melenceng menjadi ajang pelampiasan nafsu penjajahan dan penindasan senior-senior
kepada junior-juniornya. Di sana ternyata
diadakan hal-hal yang nggak ada hubungannya
sama sekali dengan pengenalan tempat
yang baru atau orientasi studi. Ya,
iyaalaahhh, ngapain juga anak-anak baru kudu minta tanda tangan senior sampe nguber-nguber mereka segala?
Kaya'nya senior-senior lagi kegandrungan jadi selebritis pas OSPEK atau MOS. Dan untuk mendapatkan tanda tangan yang nggak berguna itu senior bebas menindas junior-juniornya. Harus mau disuruh nyanyilah, disuruh narilah, maen
kereta-keretaanlah, disuruh mijitlah, disuruh cuci muka pake aer bekas ngepel, dan macem-macem
lagi.
Selain itu di masa-masa orientasi juga anak-anak baru suka disuruh pake kostum yang aneh, unik, dan bikin tengsin. Tasnya dari kantong keresek pake tali rapia. Pake topi kerucut kaya anak kaecil waktu lagi ulang tahun. Pake pita. Pake baju compang-camping kaya gembel. Yang cewek rambutnya harus dikepang banyak-banyak, kaya orang setres. Dandan menor kaya orang gila (emang orang gila menor yak?). Pake sepatu sebelah-sebelah, beda rupa beda warna.
Trus dikasih tugas
buat nyari barang yang gak dikenal di pasaran. Telor seperempat mateng, Uler melingker di tiang listrik-lah, minuman ngajak cowok jawa-lah, dll, nyusahin banget. Itu semua kan nggak ada gunanya dan akan mempermalukan orang. Kasian dong tu anak-anak baru. Ternyata
penindasan dan kejahatan senior kepada juniornya nggak berhenti sampe di situ, tapi udah parah, mengerikan, dan memprihatinkan.
Masa ada yang kaya gini lho. “Kamu cinta tanah air nggak?” Tanya senior. Junior ngangguk sambil bergidig ngeri. “Kalo gitu cium tu tanah.” “Nyium
tanah?” Kata junior. “Iyaa, cepetan cium,” bentak senior sambil melotot. Lebih parah lagi,
aktivitas membentak-bentak, memarahi, tereak-tereak, memaki, menghina, melecehkan, dan bahkan sampai memukul dan menampar, itu udah jadi pemandangan yang biasa di dalam acara orientasi di beberapa sekolah dan kampus. Makanya nggak heran dari dulu acara begituan banyak banget yang menentang. Bukan cuman penghinaan dan kekerasan, ternyata acara-acara begituan juga memuat kemusyrikan yang dilarang Allah.
Oh my God, iya beneran. Masa ada lho senior yang nyuruh juniornya untuk membungkuk (ruku') dan bersujud kepada patung atau mumi. Padahal ruku' dan sujud itu kan hanya kepada Allah, nggak boleh kepada selain Allah. Sompret tuh senior. Sebenernya siapa
sih yang aya ngajarin budaya pelonco
kaya begitu? Nggak ada kerjaan amat.
Ternyata budaya pelonco itu warisan
penjajah kolonial Belanda. Ya Allah
dasar mental terjajah. Iya, ternyata
pelonco udah dipraktikkan sejak zaman
penjajahan Belanda di sekolah yang
bernama STOVIA (School Tot Opleiding van
Indische Artsen), yang didirikan pada tahun 1902, dan merupakan perubahan dari Sekolah Dokter Djawa, lama studinya 3 tahun.
Pada masa itu anak-anak baru harus jadi anak buah kakak kelasnya dan wajib membersihkan ruangan kakak kelasnya. Pelonco itu kemudian berlanjut ke jenjang selanjutnya yaitu GHS (Geneeskundinge Hooge School) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA dan GHS sekarang FKUI Salemba). Di sini proses pelonco ternyata berjalan lebih formal dan tentunya lebih sistematis. Istilah proses pelonco pada saat itu adalah ontgroening (membuat tidak hijau lagi).
Dengan kata lain
untuk mendewasakan anak-anak baru. Gini
deh mental terjajah, apa-apa ngikutin
penjajah. Say No To Peloncoisme TOLAK…TOLAK… SAY NO TO PELONCO! Hayo teriakkan!! Bener banget tu tradisi pelonco kudu dimusnahkan dari muka bumi inih. Apalagi ternyata budaya penindasan sistematis di dalam lembaga pendidikan itu udah banyak memakan korban. Liat aja apa yang terjadi di STPDN (dulu) dan Sekolah Tinggi Pelayaran Indonesia.
Bahkan rekamannya aja ada. Dengan seenaknya senior membentak dan memukuli juniornya kaya ngantri sembako. Sampe-sampe ada yang tewas segala. Di salah satu SMA Negeri di Surabaya pun pernah ada yang tewas saat MOS lho, namanya Roy Aditia Perkasa. Walikota Surabaya menyatakan akan menjatuhkan sanksi pada SMA tersebut kalau terbukti ada kelalaian yang
menyebabkan jatuhnya korban jiwa itu.
Parah banget. Allah berfirman dalam
surat An-Nisa ayat 93,
“Dan barang siapa yang membunuh seorang beriman dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, dia kekal di dalamnya.”
Nah loh. Tuh liat udah berjatuhan banyak korban akibat digebugin saat ritual perpeloncoan berjalan. Pelonco-peloncoan
nggak jelas itu emang harus ditolak
karena mengandung penindasan dan penjajahan yang nyata. Di sana senior bebas menyiksa para juniornya, padahal dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Para senior juga
bebas menampar juniornya, padahal
Rasulullah melarang kaum muslim
menyakiti wajah. Coba liat, di dalam perpeloncoan senior bebas-bebas aja menggoblog-goblogin juniornya, menghina, dan melecehkan mereka. Membentak seenaknya. Dalam surat Al-Hujurat ayat 11 Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang
lain, karena boleh jadi mereka yang
diolok-olok lebih baik dari pada yang
mengolok-olok.” Di dalam surat Al-Fath
ayat 29 Allah berfirman,
“Muhammad Rasulullah
dan orang-orang yang ada bersamanya
bersikap keras terhadap orang kafir dan
berkasih sayang terhadap sesama mereka.”
Nah, udah seharusnya kita berkasih sayang dengan sesama muslim, bukan saling menyakiti kaya dalam ritual perpeloncoan itu. Islam sama sekali nggak mengajarkan perpeloncoan. Jelas banget tu budaya pelonco kudu dibuang jauh-jauh ke tong
sampah peradaban. Tradisi penindasan itu
nggak cocok ada di tengah-tengah manusia
beradab.
Ah, itu semua kan buat mendewasakan para junior, biar mental mereka kuat sekuat baja. Bullshit banget, kalo ada yang ngomong gitu. Justru mental orang malah akan jadi ciut kalo dapet perlakuan kaya begitu. Kalo mendidik dengan kebaikan maka akan dihasilkan kebaikan yang banyak. Tapi kalo mendidik dengan kejahatan, maka akan lahir penindas-penindas dan tirani-tirani baru. Hasilnya, dari tahun ke tahun terjadi kaderisasi pelaku kejahatan ospek sebagai bentuk balas dendam.
Menurut Paulo Freire, seorang pemikir dan praktisi pendidikan pembebasan dari Brazil, para panitia OSPEK bisa seperti itu karena dulunya pada saat mereka menjadi peserta OSPEK mereka juga pernah mengalami situasi penindasan. Teori Pak Paulo dalam bukunya Pedagogy of The Opressed menggambarkan bahwa pada saat ditindas oleh para penindas, kaum yang tertindas akan melakukan identifikasi kontradiktif. Kaum tertindas akan memandang bahwa kaum penindas memiliki kekuasaan dan harkat kemanusiaan yang sempurna.
Karena itu untuk mendapatkan pembebasan diri dari nggak enaknya ditindas, kaum tertindas melekatkan imej-imej yang melekat pada kaum penindas, yaitu dengan melakukan aktivitas penindasan yang baru. Nah, karena itulah rantai penindasan itu akan tetap bertahan karena para junior yang tadinya tertindas kelak akan menjadi senior yang kemudian akan menindas juniornya juga. Sehingga mau nggak mau semua sistem yang melahirkan budaya pelonco harus dirombak total untuk memutus budaya pelonco itu.
Kacau banget. D'RISEr, keliatan banget kalo potret buram MOS yang kental dengan nuansa bullying lahir dan lestari dalam sistem pendidikan sekuler. Sistem pendidikan yang menghasilkan para pelajar sekuler yang steril dari prinsip halal-haram saat berfikir dan bertindak. Untuk membenahi kondisi yang memprihatinkan ini, tak cukup hanya dengan kampanye anti bullying atau say no to MOS. Kampanyekan juga untuk beralih pada Sistem pendidikan Islam yang sukses menelorkan para intelektual muslim yang mengguncang dunia dengan karya-karya dan pastinya nggak kenal budaya senior-junior.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang tidak menyayangi anak-anak muda dan tidak mengetahui hak (dalam riwayat lain: tidak menghormati) orang-orang dewasa, maka ia bukanlah golongan kami,” (HR. Abu Dawud). So, say NO to plonco yang menindas dan say YES to pendidikan Islam yang mulia dan produktif. Ayo teriakkan!!! [Sayf]
Tidak ada komentar