ANTARA REALITA UTOPIA DAN CITA-CITA
Bagi para pegiat perubahan, menciptakan sebuah realita masyarakat yang ideal merupakan sebuah
cita-cita. BMewujudkan perubahan berarti
upaya menghadirkan sebuah realitas baru
yang akan mengganti realitas yang ada. Hal ini berlaku bagi siapapun dan masyarakat mana pun, lintas
agama, tempat dan zaman.
Realitas (situasi dan kondisi) bisa berubah, bahkan secara ekstrim sekali pun. Persoalannya adalah
seberapa besar usaha untuk merubahnya. Utopia
bukanlah sesuatu yang tidak mungkin atau mustahil. Utopia hanyalah harapan yang secara realita
“nyaris” tidak mungkin tercapai. Saya
katakan “nyaris” sebab ada kemungkinan tercapai.
Tidak ada yang
mustahil. Maka utopia sebenarnya adalah sesuatu yang jauh dari realita. Dulu sebelum tercetusnya
revolusi Bolshevik atau revolusi Tiongkok,
anggota Komintern (Komunis Internasional) bisa saja mengganggap bahwa mewujudkan masyarakat tanpa
kelas di bawah sosialisme adalah sesuatu
yang utopis. Tapi toh kenyataannya mereka berhasil terlepas dari cengkeraman
Kapitalisme. Begitu juga perjuangan para
pahlawan Nusantara tempo dulu, mulai dari penjajahan Belanda hingga masa pendudukan
Jepang, rasa-rasanya merdeka dari
kolonialisme juga sesuatu yang utopis. Hal itu karena jauhnya harapan dan realita.
Realitanya adalah masyarakat hidup dalam kungkungan kolonialisme, sedangkan
harapannya adalah hidup dalam
kemerdekaan. Namun, yang dianggap utopis berhasil dikikis dengan upaya merubah realita dengan cara
perang untuk mengusir penjajah walau
harus memakan waktu ratusan tahun. Jadi, kita juga tidak perlu emosi jika ada
yang menganggap bahwa cita-cita kita
adalah sesuatu yang utopis. Seperti menganggap bahwa Khilafah adalah utopis.
Bisa saja utopis dalam anggapan orang-orang yang tidak
percaya akan kembalinya Khilafah merupakan kemustahilan. Bagi kita yang percaya kepada
janji Allah (lihat Q.S. An-Nur ayat 55) dan bisyarah Rasul-Nya, maka tetaplah
kita pada keyakinan itu. Sebab Allah
tidak menjanjikan sesuatu yang mustahil kita
wujudkan. Jika dianggap utopis itu sebabnya karena realitas masyarakat masih belum menunjukkan tanda-tanda
perubahan.
Sehingga kita lah yang mengikis yang dianggap utopis
tersebut. Ketika kita berbicara realitas
masyarakat, maka sesungguhnya kita
berbicara tentang interaksi-interaksi yang terjadi di dalamnya, perilaku masyarakat serta sistem yang
diterapkan di tengah-tengah mereka.
Ingatlah bahwa realitas itu dibentuk oleh ide, tesis, pemahaman, dan ideologi tertentu yang tumbuh
dan berkembang serta diyakini oleh
masyarakat.
Perilaku masyarakat lahir dari pemahaman tertentu yang diyakini. Begitu juga
interaksi yang terjadi di dalamnya.
Ketika kita menyaksikan realitas masyarakat yang ada adalah masyarakat sekuler, tidak lain hal itu
disebabkan oleh paham sekulerisme yang
melahirkannya. Sekulerisme telah berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat yang berdiri di atas landasan ide
kebebasan. Kaum muslim dijauhkan dari
syari'atnya.
Oleh sebab ide kebebasan ini pula lah mereka dengan 'lancang' membuat aturan untuk
mengatur kehidupan mereka. Padahal Allah
telah menurunkan Al-Qur'an sebagai penjelas segala sesuatu sekaligus sebagai Al-Hakim
(pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan. Realitas ketika kaum muslim hidup dalam naungan Islam, dimana Islam secara kaffah diterapkan pernah
ada sebelumnya.
Kemudian realitas itu hilang disebabkan umat telah berpaling
dari ideologi yang benar. Oleh sebab
itu, tugas kita adalah mengembalikan realitas
tersebut dengan dakwah isti'naf al-hayati Islamiyyah (mengembalikan kehidupan Islam). Caranya
dengan meyakinkan umat kembali akan jati
diri mereka dan menjadikan mereka yakin terhadap ideologi Islam. Sebab sebuah realitas akan
terus bertahan (tidak berubah) selama
umat tidak mau merubahnya.
Ketidakmauan untuk merubah
realitas bisa jadi karena mereka masih yakin dengan pemahaman sekulerisme yang membahayakan atau menyerah
kepada fakta yang dianggap tidak mungkin
dirubah. Sekali lagi tugas kita adalah melakukan upaya meyakinkan umat hingga terbentuk kesadaran
umum akan kewajiban menerapkan Islam
secara kaffah dalam naungan Khilafah. Saat itulah yang utopis akan terkikis dan realitas yang ada akan
tergantikan dengan realitas yang baru. Ketika sinyal-sinyal perubahan belum
menghampiri kita, di sinilah letak pentingnya
sebuah keyakinan.
Yakin terhadap sebuah cita-cita yang dijanjikan Allah, Dzat Yang tidak mengingkari janji.
Orang-orang munafik akan selalu mencemooh
cita-cita yang mulia. Mereka adalah sekumpulan orang yang menyerah pada fakta. Ketidakyakinan mereka
terhadap janji Allah menjadikan mereka
terkungkung dalam realitas yang melenakan. Teladan yang paling baik bagi orang-orang
yakin adalah para sahabat –semoga Allah
meridai mereka-. .
Abu Qubail menuturkan
dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu
ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, “Mana yang terkalahkan lebih
dahulu, Konstantinopel atau Romawi?”
Beliau menjawab, “Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.” Maksudnya adalah Konstantinopel.” [H.R.
Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim]
Bagi orang-orang munafik pertanyaan itu mungkin terkesan
'konyol' dan 'menggelikan'. Sebab
bagaimana bisa sekelompok orang yang tak memiliki kekuasaan dan kekuatan apa pun bisa
menaklukkan peradaban besar? Tentu tak masuk
akal. Tetapi di situlah letak keyakinan. Keyakinan terhadap sebuah cita-cita
besar.
Para sahabat –semoga Allah meridhai mereka- bukanlah
orang-orang yang menyerah pada fakta.
Mereka yakin bisa merubah fakta dan realita, mengubah yang utopis menjadi kenyataan.
Semuanya terwujud setelah upaya keras
dan kesungguhan mereka dalam mewujudkan Daulah Islam pertama di Madinah.
Oleh karena itu, tetaplah kita pada keyakinan akan janji
Allah dengan tetap teguh pada manhaj
dakwah yang benar. Suatu saat kelak cita-cita itu akan menjadi nyata. Tugas kita hanyalah berdakwah
dengan penuh kesungguhan diiringi dengan
kesabaran yang kuat. [Kusnady Ar-Razi]
Tidak ada komentar