BOCAH DAN SAMPAH
Suhu udara belum terlalu mengganas. Dedaunan masih menampakkan titik-titik embun yang menyejukkan hati. Bulirannya merelaksasikan emosi saat ia perlahan merambati permukaan daun untuk segera menyatu dengan tanah.
Di dahan bunga yang
tak terawat itu, kumbang badak sedang
asyik menapaki kulit kayu sambil
sesekali merangsang nafsu gerombolan
bocah mungil untuk menangkapinya.
Melihat pergerakan sang kumbang, wajah
mereka semakin garang. Perlahan sang
kumbang mencoba melarikan diri, ia sadar
betul akan kesalahannya kali ini.
Nyalinya menciut kala
menatap gelak tawa kesombongan gerombolan
itu. Sang kumbang tiada berdaya, ia tak
mampu mengelak. Dalam kondisi kepepet,
hidup kadang kala menodongkan pilihan.
Mau tetap hidup tapi tertindas atau mati
karena melawan sebab diam adalah
pengkhianatan ataukah mati berkalang
tanah biar hidup tak menanggung malu.
Si kumbang cuma bilang
“ ya okelah kalo begitu…” Dengan segala
kepasrahan, kumbang merelakan diri
menjadi permainan gerombolan mungil ini.
Di permukaan tanah yang telah digali
berbentuk persegi, seekor laba-laba menanti
kedatangannya. Tanpa embel-embel kostum perang, kedua hewan aduan itu akhirnya bertempur habis-habisan
untuk satu kata mujarab “ bertahan
hidup.” Ya, kata yang juga sudah mendarah
daging dengan kalangan akar rumput
negeri ini.
Sorak-sorakan mereka sangat riuh. Mengesampingkan segala perkara yang cukup memusingkan untuk sementara waktu. Perhelatan hewan aduan memang sangat mengasyikkan, menarik perhatian seluruh bocah yang ada. Hingga akhirnya, bunyi klakson truk mengagetkan mereka. Memecah kerumunan yang tadinya terlihat menggairahkan, meninggalkan laba-laba tanpa perawatan medis sedikitpun, sungguh terlalu!!! Bak mobil truk mulai menongkang, dengan leluasanya mereka berlarian pontang-panting laiknya suku Apache.
Kebiasaan yang sudah kenyang dilakoni setiap hari. Saling berebut biar hasil yang didapat hari ini setidaknya bisa buat makan. Atau paling tidak bisa membeli obat buat ibu, pikir Semar setiap kali beraksi. Bermodalkan sebatang besi pengait dan karung goni, Semar dan kawan senasibnya menyusuri gerahnya hari yang tak menunjukkan tanda-tanda perubahan kearah yang lebih baik. Apakah cuma Semar saja? Sungguh tidak! Ada banyak orang seperti dia di sepanjang bantaran kanal. Kawasan kumuh yang setiap saat mendapat rongrongan polisi pemerintah bersenjatakan sangkur dan pentungan itu. Kawasan yang tertutupi oleh keangkuhan gedung tinggi menjulang.
Kawasan dimana Ibu Semar telah lama terbaring di atas tikar anyaman, terkulai tak berdaya akibat penyakit yang menolak ditangani oleh dokter sialan empat tahun silam…. “Dokter..Dok! Tolong Ibu saya, Dok. Tolong ibu saya. Pak…ibu saya Pak. Tolooonngg !!!”
seperti orang gila Mahfud mengongoi di ruangan itu. Semar yang belum pandai memahami, terdiam kaku melihat busa-busa keluar dari mulut ibunya. Bapak yang di meja resepsionis memandang sinis, santai dan seolah tak mau tahu. Kembali asyik menekan tuts kalkulator, memperbaiki posisi kacamatanya lalu menoleh lagi.
“Hey kau! Sebaiknya kau cari dukun saja buat mengobati ibumu itu. Kecuali kau punya uang yang bisa membuat kami menanganinya sekarang. Kalau tidak, kau pulang sajalah!”
“Pak jangan begitu, Pak. Kasihan Ibu saya, Pak. Tolong Pak, dimana nurani Bapak.
Ibu saya sekarat Pak. DOKTER!! DOKTER!!
DOKTER!!”
“Dah…keluar kau! Sana cari dukun! Sebelum Ibumu mati disini.” Mahfud masih menggendong Ibunya saat ia mulai diseret keluar oleh satpam. Ia bersikeras menemui sang dokter yang entah di tabir mana bersembunyi.
“DOKTER!! DOKHHH!! DOKTER!!
IBU SAYA DOK!!!” Mahfud berteriak lagi.
Emosinya melonjak, membuatnya
hanya mampu tergugu. Dan akhirnya Dr.
Hansen pun keluar, memunculkan secercah
harapan.
“SATPAM!!! Usir dia
keluar. Asal kau tau saja, sudah banyak
orang seperti kamu yang datang ke saya.
Orang macam kamu ini taunya cuma bikin
repot! ” “Dokter, tolong Dok...saya akan bayar Dok. DOKTER!! DOKTERRR!!!” urat lehernya menegang, sementara si Dokter berlalu tak mau peduli. Digendongnya sang ibu keluar dengan amarah yang luar biasa memuncaknya. Sambil berlari tertatih, pikirannya tertuju pada satu tempat. Dukun yang sudah biasa didatangi oleh mereka yang tidak mampu. Dan pada akhirnya, seperti itulah nasib ibunya kini…
***
Kerjaan seperti ini adalah warisan turun-temurun warga tempat tinggal Semar. Entah sejak kapan ketimpangan ini terjadi. Di satu sisi laju pembangunan tak tertahankan tapi di sisi lain ketidakadilan pun tak terelakkan. Yang pasti kini, hidup mereka sangat bergantung pada tumpukan sampah yang dibawa oleh truk besar dari setiap titik TPS (Tempat Pembuangan Sampah).
“hei…hei…itu milikku. Kau tidak liat pengaitku tertancap duluan disitu.”
“iiiiii uuu aaatt uuuu !!!” Semar ngotot. Perebutan terjadi semakin seru. Anak-anak mulai ricuh mengompori perkelahian antara keduanya. Kumbang badak menoleh, pergi meninggalkan laba-laba
yang masih mengobati luka, lalu membaur
berpartisipasi pada ajang provokasi itu.
Itung-itung, membalas kejahatan
terorganisir mereka pagi tadi.
Dan tak terelakkan lagi pakk..ketipakkhh..ketiphung….suara gendang bertalu-talu, pura-pura bingung tangan siapa yang melayangkan kayu? Oh tidak! Mahfud menghancurkan kerumunan itu, Kumbang badak pun melarikan diri.
Mahfud memelototi semua bocah seakan memberi isyarat,
“hei begundal-begundal cilik, kembali ke posisimu. Selesaikan pekerjaanmu dengan kerja sama, bagi rata, dan tanpa kekerasan!” kira-kira seperti itu, dan semuapun seolah mengerti. Usai merapikan kejadian tadi, Mahfud kembali ke perkumpulannya. Kumpulan anak muda kawasan bantaran kanal, kawan-kawannya sejak kecil. Belakangan ini mereka sedang keranjingan membahas tema-tema kebangkitan. Berbekal informasi dari Koran yang ia jajakan setiap harinya di traffic light juga buku-buku
bekas di lapak Boo, beberapa kawannya
kini sudah bisa sedikit membicarakan
masa depan manusia. Bukan cuma
memikirkan nasib mereka, melainkan
seluruh umat manusia.
Dari situ merekapun menjadi tahu bahwa dasar kebangkitan bangsa-bangsa di dunia dimulai dari kebangkitan taraf berfikir.
Kebangkitan atau ketinggian taraf
berfikir manusia di tentukan oleh
pijakan berpikirnya, yakni ide
mendasarnya.
Ide itu sendiri
dimaknai sebagai pemikiran yang menyeluruh
tentang manusia, alam semesta, dan
kehidupan ini; juga hubungan ketiganya dengan
keadaan sebelum dan sesudah berakhirnya
kehidupan ini. Pemikiran seperti itu
akan mengantarkan pada pertanyaan: dari
mana manusia berasal? Untuk apa manusia
hidup di dunia ini? Lalu kemana manusia
menuju setelah meninggalkan kehidupan
ini? Jawaban yang benar atas ketiga
pertanyaan itulah yang akan menjadi tonggak
kebangkitan manusia.
Jadi, ketika kita
menyadari bahwa kita.... Ah, sayang sekali
tulisan berikutnya di zine mungil itu betul-betul
buram sehingga tidak bisa terbaca lagi
dan otomatis untuk sementara waktu
pemahaman mereka sampai di situ dulu.
Tapi mereka terus mencari…mencari…dan
mencari… Entah dari mana awalnya,
semakin hari mereka semakin suka
membentuk lingkaran diskusi. Anak-anak
bantaran kanal yang mulai remaja, di
persilahkan bergabung dengan mereka.
Tentunya demi satu tujuan,
“MERUMUSKAN MASA
DEPAN.”
“kawan-kawan, ini
pertemuan kita yang kesekian kalinya.
Kita yang di tempa oleh didikan sekolah
alam, kali ini kembali akan menggagas
revolusi pemikiran di tempat yang kurang
layak ini. Jika pada hari ini, banyak
pemuda turun ke jalan memperingati hari
anti korupsi, maka kita tidak hanya akan
menggilas korupsi dan unsur-unsurnya,
tetapi juga akar-akarnya. Sebelumnya
kita sudah memperbincangkan bagaimana
pentingnya ideologi di emban oleh setiap
dari kita. Kitapun akhirnya tahu, bahwa
ada tiga ideologi besar di dunia.
Dalam perjalanannya, ketiga ideologi ini telah memperlihatkan tabiatnya masing-masing.
Satu hal yang lebih dekat faktanya dengan
kita ialah kapitalisme, kawan-kawan. Kita
sudah cukup tahu bahkan melebihi yang di
ketahui oleh orang lain sebab kita betul-betul telah merasakan penindasannya. Sosialisme sendiri yang pernah di utarakan oleh orang-orang berpenampilan urakan dari kalangan mahasiswa, juga tidak memberikan solusi terbaik. Dan kita sudah banyak mendiskusikan hal itu. Jadi, pilihannya tinggal ideologi ini, kawan-kawan. Ideologi….”
Nyong buru-buru mengacungkan jarinya yang sedang mengapit sebatang rokok. Ia mulai mengutarakan pendapatnya dengan taburan asap yang keluar semaunya saat ia bicara.
“kenapa begitu saja melupakan sosialisme? Lihat bagaimana keberpihakannya pada kita orang-orang tertindas. Bukankah yang menginjak kita adalah borjuis. Maaf, aku bukannya mau mendukung, tapi kita harus betul-betul memahami? Bukan begitu?” Mahfud dan kawan-kawan hanya terdiam sembari memikirkan kata-kata Nyong yang kadang-kadang
bawelnya gak ketulungan.
Boo kembali
melanjutkan, “sosialisme tidak bisa
lagi, ia banyak menyalahi fitrah manusia.
Sosialis menekan insting religius manusia
dan menolak eksistensi spiritual, karena
universum, kehidupan dan manusia hanya
dipandang sebagai wujud dialektika materi
dalam evolusinya. Lebih dari itu sosialisme
menolak hak manusia atas milik pribadi,
sehingga bertentangan dengan insting
mempertahankan diri tiap individu yang
antara lain ialah minat mempunyai kepemilikan
pribadi. Kalaupun….”
“Kalaupun ada gerakan sosialis yang sok religius, itu tidak lain hanyalah kedok untuk dapat menyebarkan idenya pada rakyat negeri ini yang mayoritas mengimani eksistensi tuhan!” Mahfud tiba-tiba menyerobot, ikut menambahi.
Area diskusi menjadi riuh. Boo kembali menjelaskan panjang lebar tentang ideologi islam. Membandingkan ketiga arus besar ideologi dunia atas pandangannya terhadap pengelolaan industri. Nyong mengorek-ngorek lubang hidungnya. Dengan santai ia berujar, “hehehe…aku sebenarnya sudah lama setuju akan hal itu. Tadi itu aku cuma menguji kau! Aku kenal buku yang kau pegang itu. Hehehe…” seketika itu ia memelentingkan bulatan korong yang dipilinnya ke arah Mahfud. Semua menyoraki lalu menimpukinya dengan kardus.
Boo menutup buku Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Dalam Perspektif Islam-nya. Mengepalkan tangan ke udara lalu bersama menggemakan takbir, tanda diskusi telah usai. Para pemuda menyebar ke lahan kerjanya masing- masing. Nyong meraih pengait besi dan karung goninya hendak bergabung dengan Semar yang dari tadi dengan rakus memilah-milah semua sampah. Mahfud kembali menenteng tumpukan koran menyusuri gang kecil menuju kolong fly over sambil memikirkan kapan mereka bisa terlepas dari gurita kemiskinan ini.
***
Hari kembali cerah.
Seperti biasa, jika matahari sudah
meninggi maka saatnya menuju lapak Boo. Memperbincangkan apa saja yang baik untuk dibicarakan. Sekalian mencicipi kopi gratisnya yang selalu saja nikmat jika ditemani wajah Nina.
“bang, si Nina makin besar saja. Wajahnya bersih, matanya indah, gayanya menggemaskan, pokoknya enak dilihat…”
“ Nyooonng…Nyong…,
cepat-cepatlah kau menikah, tunggu apa lagi kau?!” Nyong
tak menggubris, ia masih saja
memperhatikan tingkah Nina.
Teringat ia akan sepupunya yang kini diperistri Boo. Tiba-tiba saja Nina maju mendekatinya. Nyong memasang wajah teduh, ia mulai menyapa “Niinaaa…Nina abis maen apa? Ummi-nya kemana?” Nina nyengir lalu bilang, ”tuh Ummih, nina cekalang bica angkap umbang…ooo..Om!!” Nyong tertawa lebar, menghapus debu tipis di wajah Nina.
Di kejauhan Mahfud sedang menyuruh Semar membelikan obat untuk ibunya. Hari ini koran Mahfud laku semua, sebab berita tentang penanganan kasus korupsi besar-besaran sedang banyak yang ingin tahu perkembangannya. Mahfud tiba-tiba berlari, datang menggendong Nina, mencubit pipi tembemnya lalu mendudukkannya di samping Boo. Mereka pun tertawa lepas.
Loudspeaker di mesjid pabrik mulai mengalunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an,
tanda waktu shalat dzuhur akan masuk.
Sembari memetik daun singkong yang
tumbuh di sepanjang pagar luar pabrik,
hati Ummi Nina ikut menerjamahkan alunan
surah itu …Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya telah mengimani apa yang di
turunkan kepadamu dan apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah meninggalkan thaghut
itu.
Setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan pada mereka,” marilah kalian tunduk pada hukum yang telah Allah turunkan dan kepada hukum Rasul,” niscaya kamu melihat orang-orang munafik menghalangi manusia dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu… Adzan berkumandang, merekapun bergantian mengambil wudhu. Merapatkan shaf dan memulai rakaat pertama di lapak kecil Boo.
Bunyi aneh mengganggu
kekhusyuan. belum lagi debu bertebaran
mengganggu pernapasan yang entah dari
mana datangnya. Usai shalat, barulah
mereka sadar kalau dua escapator sedang
menggempur pemukiman mereka tanpa ampun.
Puluhan polisi pentungan ikut mengawasi jalannya penggusuran. Prosesi ini sebenarnya telah digadang-gadang sejak lama. Menurut cerita, kawasan ini akan dibangun mall baru.
Dan tentunya dengan segera
akan mematenkan anggapan rakyat bahwa
kota ini lambat laun akan menjadi hutan
beton. Sebenarnya, apa yang dilakukan
oleh pihak mall tidak berdasarkan pada
hukum yang berlaku. Sebagian warga
kawasan bantaran kanal masih menyimpan
bukti kepemilikan tanah mereka meskipun
sebagiannya lagi hanya berupa cerita
yang diyakini oleh kalangan mereka
sendiri.
“AKKKAAHH!! UMMMAA II…UUU…”
teriak Semar setengah
mati sambil menunjuk-nunjuk alat-alat
berat itu. Mereka bergegas bergabung
dengan seluruh warga untuk
mempertahankan tempat tinggal. Aksi
saling dorong terjadi. Hempasan pentungan
ditahan dengan tak sebandingnya kuat
lengan. Melihat robohnya rumah satu demi
satu, banyak yang menangis tersedu
bahkan histeris.
Namun alat berat itu tak mau ambil pusing, tetap menyisir sepanjang kawasan ini. Di kejauhan dua pria klimis bersandar di badan mobil mengamati kebrutalan ini sambil bercengkrama, mulai memetakan sesuai gambar rencana. Seketika itu, Semar teringat sesuatu. Ia menarik-narik baju kakaknya yang masih bertahan dengan warga lainnya.
“ II..BBWWAA..AKKAAHH…II…BWAAA…”
Semar mencoba mengatakan tapi kebisuannya sejak lahir tak mau kompromi dengan kondisi. Mengetahui maksud Semar, Mahfud berlari menuju rumah. Pikirannya kacau membayangkan keselamatan ibunya. Kecil kemungkinan karena rumah Nyong sementara ini sedang di hancurkan, sedangkan rumahnya pasti telah ambruk duluan.
Apalagi ibunya terkena
stroke yang melumpuhkan sekujur tubuhnya.
Tapi ia segera membuang jauh pikiran
itu. Dibongkarnya puing-puing kayu berserakan. Dibongkar sana dan sini, ibunya belum nampak. Kain batik yang selalu dipakai sang bunda, mengingatkannya seketika. Berkat itu, akhirnya ia temukan juga ibunya meski dalam keadaan tak bernyawa lagi. Ia tertimpa beberapa tonggak rumah yang besar-besar setelah tentunya terjerambab ke tanah sebab semua rumah di kawasan itu adalah rumah panggung.
“BU!! IBU!! BANGUUUN
BU!!! IBU….” Mahfud mengguncang-guncang
Ibunya.
Ambu si Nyong datang
menghampiri. Dengan isak tangis yang
masih bersisa, Ia memeluk Semar yang
sudah dianggap anak sendiri. Ia sangat menyayangi Semar yang malang, Semar yang ternyata hanyalah bayi yang ditemukan tergeletak di TPS sekitar tempat praktek dr. Hansen di sudut gang beberapa tahun lalu.
”Ambu tidak sempat menyelamatkan Ibumu. Ambu juga panik, Nak. Tadi petugas sempat menggeledah ke setiap rumah untuk memastikan tak ada orang lagi. Tapi Ibumu mungkin tak terlihat petugas…” Si Ambu terisak lagi.
Semar yang masih 8 tahun itu mematung, tak sanggup. Nyong, Boo, Nina dan Umminya menghampiri Mahfud. Ummi Nina meringis kala melihat tubuh ibunya Mahfud yang sudah kaku. Nyong dan Boo menahan pilu sementara Nina cuma terbengong tak tahu apa yang sedang terjadi. Warga masih tetap bertahan hingga penggusuran selesai.
Dengan langkah
gontai, mereka mulai mengambil barang-barang
yang masih layak pakai sembari membangun
sedikit naungan untuk ditinggali
sementara waktu. Keesokan harinya,
berkat bantuan warga setempat, jasad ibu
Mahfud akhirnya dikebumikan. Tak ada
tahlilan, yasinan atau yang lainnya.
Hanya mengkafani, memandikan itupun
dengan air tangki yang harganya seribu
lima ratus se-ember. Sebab tak mungkin memandikan mayat dengan air kanal yang berwarna coklat kopi susu itu. Sebilah kayu jati bekas reruntuhan rumah terpaksa dijadikan nisan. Pelayat satu-persatu pamit pulang, begitu juga Boo, anak dan istrinya.
Kumbang badak pun ikutan pamit dari pemakaman sambil memapah sang laba-laba yang masih belum sembuh. Di tengah lokasi pembuangan akhir, pas disamping makam ibunya, hujan menyirami kedua anak malang yang masih tergugu itu. Nyong tak kuasa, wajahnya menengadah ke langit menghela nafas, meyakini sepenuh jiwa bahwa tarian kematian sedang menggiring jasad kapitalisme menuju lubang kuburnya, persis yang terjadi hari ini. Dan
hujanpun semakin deras mengguyuri mereka
yang sampai saat ini masih bingung
hendak berteduh kemana…[
Tidak ada komentar