Diakonia Saat Bencana
“Mentawai is a Christ
Island, isn’t it? Why You all come
there?’’ tanya reporter televisi NHK
Hongkong kepada seorang relawan LAZIS
Dewan Da’wah di dek Kapal Ambu Ambu di Pelabuhan
Bungus Padang, Sabtu (30/10).
‘’Why You think like that. Mentawai is part of Indonesia, our biggest Islamic Country of the
world,’’ sahut sang relawan yang
didampingi rekannya dari beberapa ormas
Islam. Begitulah, bagi bule, Kabupaten
Kepulauan Mentawai identik dengan
‘’Pulau Nasrani’’.
Selain penduduknya kebanyakan
animis dan Kristen, gugus kepulauan di Provinsi Sumatera Barat itu sebagian dikuasai orang
asing sebagai resort pribadi. Namun, menurut Buya Mas’ud Abidin, tokoh dakwah Kota Padang yang bertahun-tahun
berkeliling Mentawai, bukan berarti
Mentawai identik dengan Nasrani. Bahkan
kecamatan-kecamatan di Mentawai yang maju, perekonomiannya digerakkan oleh muslim Tanah
Seberang alias urang awak.
Misalnya Kecamatan Sikakap di Pagai Utara-Selatan dan Siberut Selatan. Maka,
ketika Mentawai digoyang gempa dan dihempas
tsunami belum lama ini, berbondong-bondong ormas Islam mengirim bantuan ke sana dalam
berbagai bentuk. Misalnya, pada Senin, 1
November, para relawan Posko Bersama
berhasil menembus Dusun Pasapuat, Desa Saumanganya,
Kecamatan Pagai Utara lewat jalan laut dan darat nan berat. Mereka lalu mendirikan posko
di Masjid Mujahidin yang ajaib selamat
dari amukan bah tsunami setinggi 4 meter
yang mengepungnya. Sebanyak 120 KK atau
sekitar 600 jiwa penduduk muslim Pasapuat, selamat.
Begitupun 11 KK non-Islam. Hanya saja, sebagian rumah mereka hancur kena gempa dan tsunami. Bila
relawan Islam di Mentawai tidak memanfaatkan bencana sebagai sarana mengislamkan warga,
sebaliknya di bencana letusan Merapi
Jogja-Jateng. Banyak gereja dan sekolah
Kristen yang menampung pengungsi muslim.
‘’Mereka tertutup, kami tidak boleh mengajarkan
keislaman buat anak-anak di dalamnya,’’
ujar Saryoso, relawan di posko Masjid
Agung Sleman yang bertetangga dengan
sebuah gereja yang dijadikan posko
pengungsi.
Khawatir pada nasib pengungsi muslim asal Dusun Cangkringan, Umbulharjo, Sleman, yang ditampung secara tertutup oleh Gereja Ganjuran di Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Sleman, sejumlah relawan mendatangi gereka tersebut. Namun gereja menolak campur tangan mereka. Setelah Kapolsek
Bambanglipuro Muryanto dan Kapolres
Bantul AKPB Joas Feriko Panjaitan serta
Gubernur DIY Sri Sultan HB X bersama GKR
Hemas, turun tangan, barulah gereja
melunak.
Pada Selasa (9/11)
sore, akhirnya 98 pengungsi di Gereja Ganjuran
dipindahkan ke Bangsal Rumah Dinas
Bupati Bantul. Berkaca dari kejadian di
atas, seringkali gereja menjadikan
diakonia di daerah bencana sebagai ajang
penyebaran agama. Contohnya terjadi di Patamuan, Desa Padang Alai, Kecamatan V Kot Timur, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Pada Selasa, 28 Oktober 2009, sepuluhan orang yang mengaku berasal California, Amerika Serikat, datang ke Patamuan dengan minibus.
Di sana mereka
membagi-bagi uang Rp 10 ribu untuk tiap
orang dewasa dan Rp 5 ribu per anak.
Disusul dengan pemberian Kitab Injil,
brosur, komik, dan mendakwahkan ajaran
Kristen kepada umat Islam, yang sebagian
besar adalah ibu-ibu berjilbab dan anak-anak. Padahal, akhir November 1967 silam di Jakarta, sejumlah pemuka agama bertemu dalam Forum Antar Agama. Di akhir pertemuan, para wakil agama Islam, Protestan, Hindu Bali, dan Budha, sepakat membuat pernyataan bersama yang mengatur tata cara penyebaran agama.
Namun, kesepakatan itu gagal ditandatangani karena wakil Kristen-Katholik
menolak klausul yang berbunyi: ‘’Tidak menjadikan
ummat telah beragama sebagai sasaran
penyebaran agama masing-masing.’’ Tapi, kristenisasi dengan cara dan gayanya sendiri jalan terus. Padahal, etika penyebaran
agama dan pendirian tempat ibadah diatur
dengan Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri tahun 1969 dan SK Menteri Agama
no 70 dan no 78 tentang Pendirian Gereja
dan Penyiaran Agama. Namun, banyak
gereja dan kegiatan misionaris yang
melanggar peraturan yang memang mereka
tolak itu.
Prihatin, Natsir bersama beberapa orang mantan menteri agama yaitu Prof HM Rasjidi, KH Masjkur, dan KH Rusli Abdul Wahid, mengirim
surat kepada Paus Yohanes II saat
berkunjung ke Indonesia 3 Desember 1970.
Dalam surat itu, Natsir menyebut kegiatan
kristensasi di Indonesia dilakukan dengan
peaceful aggression, atau penyerangan bersemboyan
kedamaian. [nurbowo]
Tidak ada komentar