MAWAR PERANG EPS 02 "PERNIKAHAN"
Malam selalu hitam. Pada suatu ketika bintang-bintang ditaburkan tangan Tuhan di helai permukaan langit. Kuning runcing-runcing dan mesra, tapi sayu. Sebab merindu dendam akan kedamaian yang telah lama hilang. Langit Aceh gelap, segelap tanahnya yang ditelan penjajahan. Perang telah
berkecamuk, membongkar semangat dan
kerinduan di dada orang-orang beriman.
Sebuah perang yang diridhoi, Perang Sabil.
Dalam semangat demi membela kehormatan diri, negeri, dan agama. Untuk kerinduan akan sorga, di mana Ainon Mardliah berdiri menanti di muka pintu-pintunya.
Napas-napas muda manusia menyambutnya, mencari kematian, mencari kebahagiaan. Dan penjajah tak akan pernah berdiri dengan tenang. Tekad
itu terus membara, tak pernah padam,
sampai ke akhir zaman.
Ia diserahkan dan diwariskan, turun-temurun dan disebarkan. Kaum penjajah tak kuasa menahan. Dan bara perlawanan turut
bersemayam di dada gadis itu. Gadis
cantik yang sedang bermenung seorang
diri di ambang jendela kamarnya. Namanya
Meutia. Cahaya matanya yang terang dikirimkan kepada bintang-bintang, hatinya menakjubi keagungan. Namun lara karena penjajahan tak kuasa ia tahan. Perih hatinya, sengsara
jiwanya, ketika ia insyaf penjajahanlah
yang digelarkan orang di tengah-tengah
negeri yang ia cintai.
Kebencian itu mengembang, setiap kali ia lihat serdadu-serdadu Belanda lalu-lalang di hadapannya. Cut Meutia, cantik tiada
bandingnya. Kulitnya putih bersih,
dengan rambut hitam berurai panjang
sepunggung. Bibirnya tipis, dari mulutnya
kerap keluar suara yang lembut namun tegas
bertenaga. Ia seorang gadis yang kuat, teguh,
dan tangguh. Wujud nyata dari ketangguhan
orang tuanya. Malam itu ia terus bermenung
bersama bintang-bintang, berteman malam.
Mungkin mencari obat akan kegundahan hatinya, sebab penjajahan. Tiba-tiba
diketuklah pintu kamarnya, terdengarlah
suara salam. Sebuah suara yang telah
dikenalnya. Ia menoleh.
“Masuk, Mak! Tak dikunci!,” katanya, setelah menyahut salam.
Di ambang pintu
muncullah Cut Jah, ibunya. Dipersembahkannya
senyum kepada ibunya itu. Cut Jah
melangkah pelan mendekati puterinya,
sama-sama bersandar di ambang jendela,
menikmati malam.
“Sudah larut malam, tak kau tutup juga jendela kamarmu ini, Meutia?” Kata Cut Jah.
“Sebentar lagi, Mak,”
sahut Meutia.
“Angin malam tak baik untukmu.”
“Tapi lihatlah bintang-bintang itu, Mak, indah sekali,” Meutia menunjuk langit.
Cut Jah melongok keluar, turut menakjubi ciptaan Allah. Ia menoleh kepada puterinya.
“Kau sedang bimbang rupanya?
Esok pernikahanmu.”
“Aku memang bimbang, tapi bukan karena pernikahan, melainkan karena penjajah menodai negeri kita.” Cut Jah
tersenyum.
Wajahnya yang telah
berkerut dimakan usia itu menengadah
lagi ke langit malam. “Kau tahu, Meutia,
tiap kali Mak berdiri di ambang beranda,
tiap kali itu pula Mak melihat ayahmu
berangkat berperang. Ia sandang pedang
di pinggangnya, dan bedil di
punggungnya. Kau baru bisa tertawa kali
itu, menemani Mak meneguhi amanahnya.
Amanah yang selalu Mak katakan kepadamu,
bahwa ayahmu adalah seorang pejuang.
Dan saat si Bujang
datang mengabarkan kepada Mak bahwa
ayahmu telah syahid, hanya ada senyum di
wajah Mak. Maka walaupun saat itu kau
tak mengerti, Mak ceritakan kepadamu bahwa ayahmu telah syahid dalam mempertahankan negeri ini dari penjajah.” “Aku bangga kepada ayah. Bangga
pula kepadamu, Mak.” Cahaya mata Meutia
yang indah itu menatap lagi kepada
bintang-bintang, segurat kegundahan
mengambang,
“Sebenarnya aku ingin berangkat berperang, Mak. Meneruskan perjuangan ayah. Tak kuasa aku menatap negeri ini terus-menerus dijajah,
sementara aku enak-enakan menikah.” Cut
Jah meraih tangan puterinya dan menggenggamnya.
“Mak bangga kepadamu,
berjuang adalah kewajiban kita semua.
Namun kau harus ingat, kewajiban
perempuan adalah berkhidmat pada
laki-laki, hidup di bawah kepemimpinan
mereka, begitulah agama kita
mengajarkan. Aib dan cela akan ditimpakan
kepada perempuan yang enggan menikah.
Dan kau harus ingat, hanya dari
pernikahan sajalah akan lahir generasi-generasi
yang akan meneruskan perjuangan kita.
Perempuanlah yang mesti
mendidik generasi-generasi itu agar kelak
menjadi pejuang-pejuang tangguh.”
“Iya, Mak,” sahut Meutia.
“Meutia, kelak kau
akan berperang di bawah kepemimpinan
suamimu. Persiapkan dirimu, menikahlah,
dan lanjutkan perjuangan. Semoga Teuku Samsyarif adalah lelaki yang tepat. Dia adalah putera dari Teuku Syamsuddin dan Cut Fatimah, tak ada yang menyangkal bagaimana teguhnya mereka dalam perjuangan mengusir kaphe.
” “Insya Allah, mohon doakan aku.” Mata Cut Jah telah
berkata-kata, ia tatap dalam-dalam mata
puterinya.
Ingatannya kembali pada waktu-waktu tatkala suaminya masih bersamanya, untuk yang terakhir kali. Menancapkan semangat dan keteguhan di dadanya, bahwa hidup harus berlumur kehormatan, jangan pernah sudi menyerah kepada penjajah.
“Akan Mak katakan sesuatu yang dahulu pernah Mak katakan kepada ayahmu: Jangan pernah kau menyerah. Jangan pernah mundur.”
“Insya Allah,” sahut
gadis cantik itu dengan teguh.
Pernikahan yang khidmat itupun dilangsungkanlah. Semua orang bahagia. Semua orang mendoakan. Namuan ada perbedaan di antara mereka. Sebuah perbedaan yang takkan mungkin bisa diseberangkan lagi. [bersambung] (Sayf).
Tidak ada komentar