MAWAR PERANG : PERANG SABIL EPS 01
Pernah terjadi suatu masa di bumi ini, di mana semangat kokoh membaja, pengorbanan sampai kepada puncaknya, kemuliaan membalut tubuh manusia, dan sorga membentang di muka dunia.
Di sana, di Aceh, pada abad ke-19.
Ketika itu Aceh bukan cuma menjadi Serambi Makkah, tapi juga Serambi Sorga.
Seluruh rakyatnya berlomba-lomba meraih
cinta Ainon Mardliah, dan membeli rumah
megah di padang rumput halus sorga dengan nyawa dan darah. Saat itu kaphe (kafir) Belanda
menyerbu Aceh demi menuntaskan nafsu
penjajahannya, dan rakyat Aceh maju
melawan dalam Perang Sabil yang agung.
Dan inilah dia,
sebuah kisah tentang seorang perempuan mulia yang tegak membela agama dan negerinya. Dia serupa
kuntum mawar yang mekar dalam kecamuk
medan perang. Yang walaupun kecamuknya
membakar retih jiwa manusia, tapi harumnya
semerbak di dunia dan akhirat.
Nama perempuan itu:
Meutia. 1874 Pantai Peureulak mendesir desah. Seakan-akan meracau karena manusia demikian kacau. Penjajah hendak
menerkam tanah Aceh di mulut pantainya,
dan semua orang harus maju membelanya.
Bulan suci kian menjelang dan bayang-bayang perang kian mencekam. Pantai telah ramai
dengan pasukan perang yang telah siap
dengan senjata, kuda, dan perbekalan,
hendak bergerak menuju Banda Aceh, sebab penjajah akan memulai penyerbuannya dari sana.
Tak jauh dari pantai berdirilah sebuah
rumah megah.
Tiang-tiangnya kokoh dan dindingnya tebal. Rumah itu adalah rumah Teuku Ben Daud, Uleebalang
(semacam kepala wilayah) Peureulak. Ada
prahara besar di dada Teuku Daud. Ia berdiri di kamarnya. Menatap istrinya yang duduk
bersimpuh di atas ranjang, ditentang
seorang anak kecil yang sedang lelap tertidur.
Cut Jah, nama istri Teuku Daud itu, dan ketika itu matanya basah, jantungnya bergelora. Teuku
Daud berjalan mendekati ranjang, lalu
duduk di sisi istrinya. Pelan tangannya
terangkat, dan jemarinya mengusir air mata lara di pipi istrinya. Lalu senyum teragung ia
persembahkan kepada perempuan yang
dicintainya itu.
“Jangan antar
kepergian orang yang hendak pergi melawan kezaliman dengan air mata,” bujuk Teuku Daud.
“Bagaimanalah mungkin air mataku tak tumpah,” isak Cut Jah.
“Kau belum tentu akan
kembali padaku, Cutbang (panggilan utk
laki-laki yang lebih tua, abang).”
“Beginilah hidup sudah diciptakan Allah. Boleh jadi aku yang berangkat lebih dahulu, atau boleh jadi
pula dirimu. Kita tak bisa melawan
semuanya itu. Tapi apapun yang terjadi, berjuang
adalah kewajiban, dan kita mesti ikhlas menetapinya.
Yang meninggalkan, ikhlas. Yang ditinggalkan pun harus ikhlas. Ikhlaslah, sayang!” Tangis
Cut Jah meledak lagi, ia menghambur ke pelukan hangat suaminya, berusaha menguatkan hatinya
saat harus menatap takdir yang
membentang di muka.
Mereka berpelukan
erat, seolah tak ingin melepaskannya selama-lamanya. Hanya ada cinta di sana. “Sabarlah,
sabar,” bisik Teuku Daud.
“Ini semua adalah ujian
untuk mengetahui seberapa dalam iman kita. Dan sampaikanlah kepada dunia bahwa kita adalah
orang-orang yang beriman.” Cut Jah
melepaskan pelukannya, ia sesenggukan. Wajahnya
menunduk dalam-dalam.
Jemari Teuku Daud menghapuskan
lagi air mata istrinya.
“Semua orang pasti mati,” ia menggenggam tangan istrinya erat-erat.
“Tapi yang jadi masalah adalah bagaimana kita menjalani hidup kita, dan bagaimana keadaan
kita saat kematian itu datang menjemput.
Bersabarlah.” Tiba-tiba terbit senyum di wajah Cut Jah.
“Aku mencintaimu, Cutbang! Sungguh-sungguh mencintaimu.
Karena itu pergilah kau berperang! Jangan menoleh lagi ke belakang. Belalah negeri kita
seteguh-teguhnya. Aku ikhlas. Aku bangga menjadi istri seorang pejuang.”
“Terima kasih, sayang! Istri salehah adalah penghulu
bidadari di padang sorga. Dan aku
bahagia sebab telah dianugerahi Allah salah satu diantaranya.” Teuku Daud menoleh kepada puterinya yang sedang lelap
tertidur.
Ia mengecup kening anak itu dan tersenyum. “Jagalah dirimu baik-baik, jaga
pula Meutia. Ajari dia Islam, agar dia menjadi
perempuan tangguh seperti dirimu.”
“Insya Allah,” sahut
Cut Jah.
“Kalau ada umur aku pasti kembali. Tapi bila aku tak
kembali, sampaikan kepada Meutia, bahwa
ayahnya adalah seorang pejuang yang telah syahid membela agama dan negerinya. Aku ingin dia bangga demi
mengetahuinya.”
“Janganlah risau tentang itu, Cutbang! Aku pasti
mengatakannya. Akan aku ajari dia kebencian
kepada penjajah, dan akan aku jadikan dia perempuan yang mulia.”
“Terima kasih,” Teuku
Daud menangkup halus kedua pipi istrinya dengan kedua belah telapak tangannya, lalu mengecup kening
istrinya.
Cut Jah mencium tangan Teuku Daud dengan khidmat. “Jangan pernah
mundur, Teuku,” Cut Jah tersenyum. Teuku Daud mengangguk, “Aku mencintaimu,
kita tak akan pernah berpisah. Para pencinta
boleh mati, tapi cinta mereka tak akan pernah hilang dari muka bumi. Mereka yang pergi tak benar-benar pergi. Yang mati,
tidaklah mati.” Mereka turun dari ranjang, tegak berhadap-hadapan di
tengah-tengah kamar. Teuku Daud
membetulkan letak kerudung istrinya.
Cut Jah menguatkan ikatan pedang di pinggang suaminya. Pandangan mereka jatuh
kepada puteri mereka yang sedang terlelap
di ranjang, membalurinya dengan kasih sayang. Mungkin untuk yang terakhir kali.
“Marilah,” ajak Teuku Daud.
Mereka berdua melangkah keluar kamar itu, bergandengan
tangan. Melapisi hati dengan kesabaran
dan keikhlasan abadi. Itulah senjata terampuh menghadapi segala kenyataan. Di beranda rumah mereka berhenti. Teuku
Daud menatap dalam-dalam bola mata cokelat bening istrinya,
“Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumussalam,”
sahut Cut Jah.
Teuku Daud menuruni
undakan depan rumah itu, melangkah dengan teguh. Tak pernah menoleh lagi ke belakang. Cut Jah
menatap punggung kokoh suaminya yang terus
menjauh, ia tersenyum, tak ada lagi air mata. Kokohnya gunung Seulawah tak sanggup menandingi kokohnya tekad di hati para
pejuang. Ikhlasnya bidadari tak akan kuasa
melawan keikhlasan hati istri-istri pejuang.
Cut Jah berjalan kembali ke dalam rumah, menuju kamarnya.
Saat membuka pintu kamar itu, ia melihat
puterinya telah bangun dan duduk sendirian sambil mempermainkan kain selimutnya. Cut Jah
tersenyum dan menghampiri ranjang, ia peluk
puterinya itu dan digendongnya. Ia buaikan rindu puterinya dengan mendendangkan syair yang menggetarkan kaum
penjajah. Dan kelak, anak dalam buaian
itu akan menjadi ksatria bercadar yang dengan gagah berani mencerai-beraikan
barisan kaum kaphe lebih dari lelaki manapun.
“Kau tahu, sayang, ayahmu adalah seorang pejuang! Kalau besar nanti,
jadilah seorang pejuang seperti dia walau engkau seorang perempuan.”
“Allah hai dododaidi Boh gadung bi boh kayee uteun Rayeuk
sinyak hana peu mak bri Aeb ngeun keuji ureung donyakeun Allah hai dododaidang Seulayang
blang ka putoh talo Beurijang rayeuk muda seudang Tajak bantu prang tabela nanggroe Wahe aneuk
bek taduek le Beudoh sare tabela bangsa Bek tatakot keu darah ile Adak pih mate
po mak ka rela.”
………… Allah hai
dododaidi (semacam ninabobo dalam bahasa Aceh) Buah gadung buah-buahan dari hutan Kalau
anakku besar nanti, Ibu tidak bisa memberi apa-apa Aib dan keji dikatakan
orang-orang. Allah hai dododaidang Layang-layang di sawah putus talinya Cepatlah
besar Anakku sayang & jadi seorang pemuda Supaya bisa berperang membela
negeri.
Wahai anakku, janganlah duduk & berdiam diri saja Mari
bangkit bersama membela bangsa Janganlah takut jika darah mengalir Walaupun
engkau mati, Nak, Ibu sudah relakan. [Sayf Muhammad Isa] Bersambung…
Tidak ada komentar