PANGIL AKU ZAHRA
Takkan selamanya tangan ini mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Suara khas Ariel Peterpan, si empunya lagu, mendayu merdu
dari telepon genggam miliknya untuk
kesekian kali. Rasa jengah menyeruak. Dengan malas diangkatnya panggilan tersebut. Suara
seorang perempuan diseberang.
“ Rose, kamu dimana? Anak-anak sudah menunggu kamu dari
tadi. Cepat ya!.”Klik. Mati. Huff.
Nafasnya berembus berat.
Kalau saja tidak ada gadis itu disana, pasti dia tidak akan
menghadiri acara itu. Dia segera
bergegas. Sebuah jaket bertuliskan ' Pers Mahasiswa ' membalut busananya yang modis. Ditatapnya
cermin. Ah, itu bukan dia.
Dia tidak menemukan dirinya disana. Sesosok wanita dengan
busana muslimah yang indah ada disana,
lalu tersenyum padanya. Dia terperanjat, wanita itu adalah dirinya. Dipandanginya
kembali pakaiannya. Kemeja putih, jaket
dan celana jeans masih melekat ditubuhnya.
Lalu siapa wanita di
dalam cermin itu?. Ditatapnya kembali cermin. Perlahan bayangan wanita itu mulai kabur. Tapi ia tahu betul
pantulan di cermin tadi adalah dirinya.
Pikirannya mulai kacau. Segera dia beranjak pergi dari depan meja rias, dipacu mobil menembus jalan raya.
Wanita di dalam cermin masih tersenyum,
dan perlahan senyumnya mulai kabur. Siang kian jalang.
****
Ketika musim semi datang, aku tumbuh dengan kuntum-kuntum
yang indah dan duri-duri yang gagah.. Saat musim gugur tiba, tak kurelakan
tangkaiku patah.. Saat musim panas menerpa, aku tak pernah goyah.. Saat musim
dingin yang membekukan datang.. takkan kubiarkan
sebutir salju pun singgah… Aku adalah
sekuntum mawar surga.. Dibacanya berulang kali puisi tersebut. Mencoba memahami
makna dari untaian kata-katanya.
Tapi kali ini ia tidak berhasil. Kata-kata itu telah menyihirnya menjadi bodoh. Ia coba lagi
menyusuri huruf-huruf itu. Ah, bukan,
lebih tepatnya kata-kata itu. Dia membiarkan imajinasinya berkelana sejenak. Menari-nari diantara
kebisuan huruf dari puisi tersebut. Dalam perjalanannya ia tersesat
dalam sebuah ruang hampa. Pengap. Dia
kenal ruang itu. Ruang itu hatinya, perasaan gundahnya selama ini.
Dia menerka-nerka, apakah ini jawaban dari kegelisahannya. Dia menemukan jawabannya. Ya, puisi ini adalah
jawaban yang selama ini dicarinya.
Hingga sebuah suara menyadarkan ia dari pengembaraannya.
“ Mbak Rose tidak apa-apa kan?” Suara merdu gadis itu lagi.
Matanya mengerjap. Gadis itu tersenyum manis. Dia balas tersenyum. “ Ehm.. mbak nggak
apa-apa kok.” Dia membetulkan tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya. Gadis itu
mengambil posisi duduk di sebelahnya. “
Nisa perhatikan, mbak Rose dari tadi melamun. Sudah hampir sejam lho mbak. Mbak ada masalah?” Ah,
selama itukah dia tersihir oleh kata-kata dalam puisi itu? “ E..enggak kok Cha,
mbak hanya kecapekan saja barangkali. Ngomong-ngomong,
puisi Cha yang ini bagus sekali dik.” Dia berkilah. Tapi tidak untuk puisi itu.
Pujiannya terlalu sederhana untuk puisi
yang terlahir dari goresan tangan gadis berhati lembut ini.
“ Mbak terlalu
memuji, Cha rasa biasa saja mbak, Cha mah belum ada apa-apanya di banding penulis
seproduktif mbak.”
Dia tersenyum mendengar pujian gadis itu.Hatinya membantah. Nisa selalu bisa menulis dengan perasaan
cinta. Sementara dirinya tidak bisa.
Meskipun teman-temannya salut terhadap kemahirannya
dalam meracik kata-kata hingga menjadi sebuah tulisan yang sangat bagus, dia merasa dirinya
belum sebanding dengan gadis itu. Junior
yang mengenalkan dunia yang sesungguhnya
pada dirinya. “ Oh ya, mbak siang ini tidak ada kuliah lagi kan?” tanya gadis itu. Dia menggeleng.
“ Ba'da zhuhur, insya
Allah ada ta'lim bersama UKMI Ar- Rahman
di Masjid kampus, selepas ashar juga ada acara bedah buku “ Benturan antar Peradaban” karyanya S.
Huntington di Aula masjid. Mbak Rose
bisa datang, kan? Ya, hitung-hitung menambah
ilmu mbak.”
“ Insya Allah, mbak
akan hadir. Tapi, mbak mau menyelesaikan pekerjaan dulu ya, masih banyak tulisan yang
belum di edit nih.” Gadis itu mengangguk
mantap. Nisa kemudian ikut membantunya
mengedit tulisan-tulisan untuk majalah kampus edisi depan. Mereka berdua bekerja penuh
semangat.
****
Disaat kamu mengenali
siapa dan untuk apa dirimu hidup, Disitulah
kau akan menyadari betapa lemahnya
dikau.. Kata- kata itu terngiang kembali di ingatannya. Kata-kata yang tak pernah bisa dilupakannya seumur
hidup. Dia kembali mere-fresh
kenangannya bersama Ratna, sahabatnya sewaktu SMA yang telah tiada saat mereka masih duduk di
kelas dua. Ratna, temannya yang alim itu
menasehatinya tentang arti hidup. “ Bagiku, arti hidup tidak lebih seperti kita
bermain dengan apa yang kita sukai,
kemudian saat kita bosan, kita akan meninggalkan
mainan itu.” Ujarnya mantap.
“ Kau baru saja berada di titik terendah dari sebuah
pemikiran, Rose.”
“ Menurutmu?” “ Tidak pernahkah kau berfikir bahwa hidup itu
sebuah perjuangan yang panjang?” Ratna
balik bertanya. “ Aku tak pernah berfikir sampai kesana, teman. Ayolah, aku menikmati apa yang ada saat ini.”
“ Itu karena kau bisa
dapatkan apa yang kau mau. Bagaimana jika
dirimu adalah pengemis dijalanan yang harus meminta-minta demi memperoleh
sesuap nasi?”
“ Kata-katamu menyudutkan aku Ratna. Sayangnya aku bukan pengemis itu.” Dia tertawa enteng menanggapi
pertanyaan sahabatnya itu. Ratna hanya tersenyum.
“ Kau merasa dirimu hebat saat ini Rose, suatu saat kau akan
temukan jawabannya.” Dipandanginya foto
bersama almarhumah sahabatnya itu. Relung hatinya merutuk mengapa dia menganggap remeh
kata-kata Ratna saat itu. Kini dia mulai
sadar bahwa apa yang dikatakan oleh Ratna
dulu benar.
Dia terlalu congkak, merasa diri kuat dan hebat. Disaat dia
mulai mencoba mengenal dirinya, dia perlahan merasa paling hina. “ Maafkan aku, Ratna. Aku mulai sadar siapa
diriku kini.” Hatinya berbisik. Ada
bulir airmata yang melompat dari sudut matanya.
****
Rosevine Abijaa. Mahasiswi cantik, yang duduk di semester akhir jurusan sastra Inggris, Universitas
Negeri Medan itu kini mulai berubah.
Jurnalis kampus dengan segudang prestasi itu kini memakai jilbab, walaupun masih tetap dengan
jeansnya yang tidak terlalu ketat.
“ Ehm.. ada yang beda dengan penulis cantik kita hari ini.” Erwin, komisaris kelas yang menaruh hati
padanya berkomentar pagi itu. Dia hanya
tersenyum mendengar komentar dari rekan- rekan sekelas yang heran melihat perubahan
pada dirinya.
Dia sebenarnya heran
dengan apa yang terjadi. Apa mungkin dia hanya terpesona sesaat dengan Nisa, hingga
harus merubah apa yang di anugerahkan
Tuhan sebelumnya. Atau ini semua karena siraman
rohani dari pengajian-pengajian yang diikutinya beberapa bulan ini? Entahlah. Dia sendiri ragu pada
dirinya. Kegiatannya sebagai jurnalis kampus tetap berjalan lancar. Bahkan ketika Rektor memberikan penghargaan
sebagai penulis terbaik dalam ajang
Pekan Jurnalistik Kampus, namanyalah yang muncul di urutan pertama. Dia hadir dengan
wajah baru yang dinilainya misterius.
Dia kembali bercermin. Sosok wanita itu tetap
muncul. Wanita dengan balutan baju taqwa, lalu tersenyum padanya. Dia yakin wanita itu adalah masa
depannya yang terlupakan.
****
“ Allah itu Maha
Pengampun dik. Ampunan Allah jauh lebih besar
di banding kesalahan hamba-hambanya, sejauh hamba itu sadar akan kesalahannya dan tidak mengulang
kesalahan itu lagi.” Kata-kata mbak
Zihah, murabbiyahnya mampu menelusup jauh di lubuk hatinya. “ Aku merasa diriku saat ini
paling bodoh mbak. Mengapa hati ini dari
dulu menolak kebenaran bahwa diri ini adalah makhluk yang lemah.” Ujarnya sendu.
“ Astaghfirullah, tidak boleh menyesali diri seperti itu
ukhti. Manusia memang seperti itu. Kita
tidak boleh menghakimi diri sendiri.”
“ Tidak ada kata terlambat untuk menjadi yang lebih baik dan
memulai kebaikan. Lihatlah betapa besar
nikmat Allah kepada kita. 'lalu nikmat
Tuhanmu yang manakah yang akan kamu dustakan?”
kata-kata mbak Zihah bagai pisau yang menusuk dan mencabik-cabik tabir keangkuhan yang selama
ini menyelimuti segumpal darah dalam
tubuhnya, yakni hatinya. Ada ribuan atom-atom motivasi dari kata-kata
murabbiyahnya tersebut. Dia tersenyum.
Ada sebuah harapan besar di pelupuk matanya. Sebuah perubahan.
*****
Aku adalah mawar surga yang merekah di bumi.. Memberikan keharuman suci
disekelilingku, menebar aroma keindahan
yang bisa dirasakan jiwa-jiwa yang
agung.. Takkan kubiarkan tangan-tangan kotor memetik tangkaiku.. Karena duri-duriku adalah
besi-besi keimanan yang tak terjamah
oleh keangkuhan… Jika ada orang yang
tidak berubah maka eksistensinya perlu diragukan.
Bunga ditaman pasti layu, anak kecil akan beranjak dewasa, waktu pasti berganti. Tidak ada
sesuatu di jagat raya ini yang tak
mengalami perubahan, kecuali Tuhan.
Setidaknya, itulah yang diyakininya saat ini. Tiga bulan sudah ia
berada di negeri orang, Australia. Dia
terpilih pada pertukaran mahasiswa berprestasi bersama tujuh orang rekannya. Besok ia akan pulang ke
Indonesia. Ada sebingkai rindu yang
terbungkus manis untuk semuanya. Dia rindu pada Nisa, gadis cantik yang sudah dianggapnya
sebagai adik. Gadis itulah yang telah
menuntunnya dalam mengenal siapa dirinya. Ditulisnya sebuah puisi tentang bunga, persis
seperti puisi Nisa yang dulu
menyihirnya. Kini dia telah mampu menulis dengan senyum dan perasaan cinta. Bunga-bunga lain merasa iri
dengan pesonaku.. Karena aku cantik? Ah, kurasa tidak.. Aku hanya mawar surga
yang merekah dan menebar aroma suci di
Bumi Allah ini..
Mungkin mereka iri kenapa aku begitu di cinta.. Setiap bunga
pasti ingin diperlakukan hal yang sama.. Aku ingin kuntumku tetap bersemi di
empat musim.. Tak semusimpun dapat menggugurkan kuntum, maupun sehelai daun dari tangkaiku.. Apa aku melawan
takdir.. Ah, kurasa tidak.. itu hanya sebuah keistiqomahan yang kubangun dengan susah payah.. Karena aku
hanya sekuntum bunga..
*****
Dia berdiri memandangi sekitar. Panorama hijau itu adalah kampus tempatnya menimba ilmu. Hembusan angin
semilir menerpa wajahnya. Mengibarkan
jilbab panjang yang menutupi kepalanya. Tidak
ada polesan make up ataupun jeans lagi. Baju taqwa kini telah membalut anugerah Allah tersebut. Bibirnya
basah dengan lafazh Ilahi. Ada seseorang
yang ingin di temuinya. Sudah disusunnya kata-kata untuk bicara.
“ Assalamu'alaikum.” Suara merdu gadis itu lagi. Dia
tersenyum, ini yang ditunggunya sedari
tadi. Dia menoleh.
“ Wa'alaikumussalam
ukhti.” Gadis itu berlari menghambur kepelukannya.
“ Mbak Rose apa kabar? Cha rindu berat nih.” Dia tersenyum.
Masih sama, tetap manja.
“ Alhamdullillah, mbak sehat-sehat aja. Mbak kangen sama
Nisa.”
“ Nisa juga mbak.
Sebentar lagi kita bakal berpisah. Mbak bakal wisuda, tidak ada lagi yang bakal mengajari
Nisa jadi seorang penulis yang handal.”
“ Nisa harus tetap semangat dong. Nisa itu penulis hebat
yang pernah mbak kenal. Novel Cha
kemarin sudah mbak baca kok. Two thumbs up for you ukhti.”
“ Danke, mbak. Itu semua juga berkat mbak Ro..” tangannya
bergerak cepat memberi isarat di bibir
gadis itu. “ Mulai saat ini jangan
panggil mbak Rose lagi ya! Panggil aku..Zahra.” Sebuah nama yang dipilihnya
setelah hijrah dan memahami Islam dengan
seutuhnya. Nama yang diambilnya dari novel
“Wanita dan Bunga” karya Nisa, adiknya itu. “ Subhanallah, iya
deh, mulai saat ini Cha akan panggil mbak Zahra.”
“ Syukran ya ukhti.”
“ Afwan.” Burung
camar yang terbang diantara pepohonan bertasbih gembira. Kini telah ditemukannya arti dari sebuah
hidup. Persaudaraan, persahabatan dan
cinta telah mengajarkannya arti sebuah perjuangan. []
Tidak ada komentar