SANG JUARA DI SEKOLAH "PINGIRAN" BY DIAN AULYA
Bersusah payah aku menjadi juara setelah menyisihkan banyak anak cerdas lainnya. Bersusah payah aku giat
belajar hingga Bmasa SMP bisa kujalani
hanya dalam waktu dua tahun! Bersusah
payah aku mengukir segala
prestasi, hingga membuat seantero
sekolah dan juga kedua orangtuaku selalu bangga padaku. Tapi apa yang kudapat setelah itu? Dimana aku
berada setelah sederet prestasi itu
telah kuraih? Aku tak mendapatkan apa-apa dan aku pun tak berada dimana-mana kecuali terdampar di
sekolah becek di sudut kota ini.
Rumput-rumput yang tumbuh liar di seluruh penjuru sekolah
bahkan membuat lingkungannya mirip
persawahan! Sekolah yang -jangankan masuk
daftar sekolah 'favorit' dengan gedung berkeramik dan bertaman indah-,malah beratap seng kecoklatan termakan
usia dengan plafon penuh coretan
membentuk peta-peta layaknya sebaran pulau Indonesia bekas rembesan air hujan. Oh! Sungguh bukan
harapanku untuk ada di tempat ini! Sebulan
sudah aku ada di sini.
Tapi semangatku sudah terlanjur redup. Tak ada minat apa-apa dalam
diriku untuk belajar sebagaimana
harusnya seorang siswa. Aku pun tak begitu antusias berkenalan dengan teman-teman baru, yang hilir
mudik di depanku. Aku yang suka duduk di
deretan paling depan, sekarang sangat puas berada di bangku paling belakang, tempat
yang sangat strategis untuk menyesali dan merenungi nasib.
Aku yang dulu selalu ceria, kini berubah pendiam dan begitu introvert! Silih berganti
guru masuk memberikan pelajaran
sesuai jadwal. Tapi nyaris tak ada yang
tinggal di otakku. Penjelasan para guru seakan
mengawang begitu saja di daun telingaku untuk selanjutnya hilang tak berbekas. Beberapa tugas dan PR aku
kerjakan asal-asalan, bahkan jika sudah
kepepet, tanpa beban apapun, tinggal menyalin dari PR teman sebangku sekaligus satu-satunya teman
yang agak dekat denganku, Fira.
Padahal hampir sebulan
mengenal Fira, aku bisa membaca
bahwa otaknya tak encer-encer amat. Otomatis PR-nya yang kusalin juga sama sekali tak bisa dijamin
benar. Tapi toh, aku tetap melakukannya.
”Mama sangat mengerti kalau kamu tidak mau sekolah di sana. Tapi mama juga berharap kamu bisa
mengerti keadaan, Nak.” Suara mama di
suatu pagi saat membangunkan untuk shalat shubuh sekaligus untuk siap-siap ke sekolah seakan
terdengar lagi di telingaku.
Ah! Kenapa aku yang harus dikorbankan? Kenapa aku yang harus mengalah? Kenapa bukan kak Tio dan kak
Vina? Tidak begitu pentingkah diriku dan
masa depanku bagi mama?
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengiringi langkahku ke sekolah. Kenapa
harus aku? Berulang
kali mama menjelaskan,
tapi aku belum
bisa memahaminya.
”Mama juga sangat
sedih, karena kamu harus sekolah di tempat
yang bukan keinginanmu. Tapi apa boleh buat, Nak. Keadaan kita tak seperti dulu lagi. Bisnis
papamu hancur dalam sekejap. Dan kamu
lihat sendiri, papamu sedang sakit, dan
beliau begitu menderita sekarang.”
”Tapi kenapa harus aku yang masuk di sekolah yang tak berkualitas, Ma! Kenapa bukan Kak Tio
dan Kak Vina yang pindah ke kampus yang
lebih murah?” Aku protes di depan Mama.
”Bukan tak berkualitas, Nak. Semua sekolah sama saja. Di sana kamu juga masih bisa belajar,
kok.” Aku menatap Mama.
Batinku memberontak. Mana
ada sekolah yang semuanya sama sekarang. Dari nama-namanya saja beda, apalagi fasilitasnya.
Fasilitas di sekolah yang bermerk
nasional dan internasional jelas tidak sama
dengan yang tak bermerk apa-apa. Bahkan dari kualitas gedung sekolahnya saja berbeda. Ada
yang sangat mewah, sementara yang lain
bahkan mau roboh. ”Tentang kak Tio dan
kak Vina, mereka sudah terlanjur masuk
di sana dan sudah berada di semester akhir. Tidak lama lagi mereka akan lulus.
Karenanya butuh banyak biaya untuk
menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi mereka. Makanya Mama, kak Tio dan kak
Vina minta supaya kamu ikhlas masuk di
SMA yang 'biasa'.” Aku hanya terdiam.
Hatiku bergejolak. ”Nanti jika
mereka sudah lulus,
dan kalau bernasib baik mendapat pekerjaan dengan cepat,
pasti mereka mau membantu mama untuk
membiayai sekolah dan memindahkanmu dari
sekolah yang sekarang.
” Meski baru sebatas janji, tapi seperti sebuah oase di padang pasir, secercah harapan membayang di
pelupuk mataku mendengar kata-kata mama.
Ya, setidaknya ada kemungkinan untuk
keluar dari sekolah 'pinggiran' itu jika kedua kakak kembarku itu telah selesai kuliah
beberapa lama lagi. Awalnya kami
selalu berkecukupan. Tapi semuanya
terbalik dalam sekejap begitu usaha papa di bidang garmen bangkrut.
Selain karena efek
krisis global dan karena dampak perjanjian
dagang pemerintah dengan China, dan
belakangan karena kenaikan tarif dasar listrik, papa juga ditipu oleh beberapa rekanan bisnis
dan mengalami kerugian yang sangat
besar.
Beberapa aset usaha
yang masih tersisa termasuk sejumlah toko terpaksa dijual untuk
melunasi hutang dan membayar sejumlah
tagihan bisnis. Kami terpuruk dan tak
punya aset apa-apa lagi selain rumah tempat
berteduh sekarang ini.
Satu-satunya harapan mama untuk
membiayai kuliah semester akhir kak Tio dan kak Vina adalah tanah warisan dari kakek-nenek
yang sekarang sudah
dipasangkan papan pengumuman: DIJUAL!
***
Pagi yang cerah. Sinar keemasan sang surya mengiringi langkahku memasuki gerbang sekolah.
Bak butiran mutiara, embun-embun pagi
bahkan masih enggan meninggalkan pucuk
dedaunan. Langit biru cerah dengan sedikit
hiasan awan putih membentang luas
menaungi sudut kota tempat
sekolahku berada. Sesekali kawanan burung
gereja yang menghuni beberapa pojok atap gedung sekolah
beterbangan berganti-ganti ke
halaman yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Untuk pertama kalinya aku datang sepagi ini.
Fira yang selalu rajin bahkan belum tiba. Pekan ini
sudah memasuki bulan kedua aku di
sekolah ini. Sejak pembicaraan terakhir
dengan mama beberapa waktu lalu, perlahan aku mencoba
menerima kenyataan ini. Meski getir
selalu menyapa hatiku yang terus
menerus ingin memberontak. Tak mudah
bagiku untuk menghilangkan bayangan bahwa teman-teman se-SMP kelas akselerasi dulu kini
sedang berkutat di sekolah-sekolah
favorit berkelas internasional yang
pastinya berbeda denganku yang ada di sekolah dengan fasilitas tak semewah dan selengkap mereka.
Tapi ah, sudahlah,
”sekarang bukan saatnya menyesali keberadaan kalian di sini”, begitu
nasihat Bu Nur-guru matematika kami-sebelum memulai pelajaran kemarin. Dengan gaya bicara yang tegas dan meyakinkan,
beliau memotivasi kami tentang banyak
hal.
”Ibu yakin, tidak semua kalian bercita-cita masuk sekolah ini sejak awal. Bahkan mungkin ada di
antara kalian yang masuk di sini sebagai
pelarian, karena sudah tidak di terima
di sekolah manapun. Fasilitas yang ada di sekolah ini pun pasti tidak sama dengan fasilitas yang ada
di sekolah ternama di kota ini.” Aku
menunduk.
Bukankah itu yang selalu ada di benakku selama ini? Setelah menghela
nafas, Bu Nur
kembali melanjutkan 'ceramahnya'.
”Tapi semua itu tidak boleh menjadi
alasan bagi kalian untuk
bermalas-malasan. Kalian harus
tetap bersemangat, meski
dengan keterbatasan fasilitas. Semangat kalianlah yang akan mengubah
semuanya. Dari membosankan menjadi
menyenangkan, dari biasa menjadi luar
biasa. Bahkan semangat kalian
dalam belajar dan menjalani hari-hari
di lingkungan sekolah
ini, akan mengalahkan fasilitas mewah yang dimiliki oleh
sekolah manapun yang mungkin pernah
kalian impikan selama ini.” Hening.
Tak ada yang bersuara. Semua teman-temanku sepertinya mencerna apa yang diungkapkan Bu
Nur. Dan seperti yang kurasakan, mungkin
ada juga di antara mereka yang sedikit
terobati hatinya setelah mendengar nasehat itu. Di akhir pesannya, Bu Nur kembali mengulang
apa yang pertama kali
diungkapkannya. ”Sekarang bukan saatnya
menyesali keberadaan kalian di sini”, beliau terdiam sejenak, lalu melanjutkan, ”menyesal tak kan
memberi arti apa-apa buat
kalian.
Sekarang adalah saatnya
untuk mensyukuri apa yang kalian
miliki di sekolah ini, okey?!” Serasa bagai air sejuk dari mata air pegunungan,
untuk pertama kalinya hatiku terasa
luluh. Segala nasehat dari Bu Nur, mampu
kucerna dan kuresapi dengan sangat mengesankan.
Untuk pertama kalinya pula, aku mendapati nasehat
yang sangat mengena
dengan masalah yang kuhadapi.
Mungkin karena itulah, hatiku betul-betul bersih menerima petuah Bu Nur.
***
Kini, memasuki tahun kedua aku di sekolah ini. Aku di semester satu kelas XI sekarang. Kak Tio dan
Kak Vina lulus hampir bersamaan sekitar 8 bulan lalu. Mungkin karena didukung oleh sikap profesional dan disiplin
serta hubungan baik dengan pihak
perusahaan tempatnya magang, beberapa lama
setelah wisuda Kak Tio dipanggil kembali ke perusahaan itu
untuk mengisi kekosongan karyawan yang pindah keluar kota.
Sementara kak Vina, tengah menunggu pengumuman beasiswa untuk S-2nya.
”Sekarang kak
Tio sudah kerja.
Alhamdulillah penghasilannya juga
cukup untuk membantu biaya sekolahmu. Ini
beberapa list sekolah yang sudah mama 'survey' kedisiplinan dan kredibililitasnya untuk kamu pilih.”
Mama menyodorkan selembar
kertas bertulis beberapa nama sekolah untuk tujuan kepindahanku. Oh! Rupanya mama dan kak Tio ingin memenuhi janji. Kubaca satu persatu nama sekolah yang
ditulis tangan oleh mama. Beberapa nama
yang tertera memang pernah menjadi
impianku. Dan kini, jalan untuk mewujudkannya telah terbuka. Tinggal menunjuk satu nama. Aku
menatap mama di sebelah kiriku, dan kak Tio yang
kini sedang membolak-balik koran tadi pagi. Aku menghela
nafas.
”Aku tidak mau
pindah, Ma.” kataku mantap.
Mama dan kak Tio menatapku bersamaan. Tak percaya
dengan apa yang didengarnya.
”Apa? Mama tidak salah dengar?”
”Tidak, Ma. Aku
memang betul-betul tidak jadi pindah.” Aku
meyakinkan Mama.
”Tapi kenapa?
Bukankah dulu kamu mau sekali pindah?”
”Jangan bilang karena kamu merasa nggak enak sama kak Tio. Nggak apa-apa Na, ini sudah menjadi
kewajiban kak Tio, kok. Kak Tio ikhlas
membiayai sekolahmu nanti.” Belum sempat aku menjawab Mama, kak Tio sudah menyela. Aku
menggeleng.
”Bukan karena itu,
kak. Tapi....”
”Tapi apa, Nadya?”
kak Tio mengejar jawabanku yang menggantung.
”Karena ... sekolahku
terlalu indah dan sangat berarti untuk
aku tinggalkan.” Mama dan kak Tio
terdiam beberapa detik, sepertinya mencerna
maksudku.
”Kamu tidak akan
menyesal?” Mama berusaha meyakinkanku. Aku menggeleng.
”Jika memang itu
keputusanmu, kak Tio dan Mama tidak akan
memaksa. Tapi jika kamu berubah pikiran, segera sampaikan pada Mama atau kak Tio.”
Dengan bijak, kak Tio menutup pembicaraan kami malam itu. Pikiranku kini
melayang ke sekolah, dengan segala sketsa tentangnya. Gerbang yang sederhana, dua pilar
beton kasar yang catnya sudah pudar.
Lantai semen yang turun ke dasar pondasi
dan retak-retak, atap seng yang
kecoklatan, plafon yang penuh lukisan
pulau rembesan hujan, serta cuaca panas tanpa pendingin.
Namun ini yang tidak akan kutemukan di sekolah lain di tengah kebisingan dan pohon-pohon beton
menjulang tinggi di tengah kota. Suasana
yang begitu natural. Halaman luas dengan
rerumputan hijau yang menghampar, tempat
kami 'berkejaran' dengan belalang dan
capung saat mendapat tugas Biologi, 'danau' kubangan di ujung timur yang
ditumbuhi teratai warna merah dan putih,
bermekaran menyambut kami sejak pagi
hingga terik siang menyengat.
Di atas sana, langit
membentang luas, tak pernah terhalang pandangan kami menatapnya
oleh ketinggian gedung-gedung pencakar
seperti di pusat kota. Aku teringat pula
pada mading sekolah yang kupimpin,
selalu ramai pembaca. Dan yang sungguh membuatku
betah, mushalla mungil bercat hijau di depan
sekolah, tempatku setiap Sabtu sepulang sekolah, belajar ilmu-ilmu Islam dibimbing oleh kak
Zahra, kakak kelasku.
Teman-temanku di Rohis, satu persatu seakan bermunculan
di pelupuk mataku.
Mereka datang dengan
senyum tulus persaudaraan.
Mereka menghadiahi persahabatan
indah yang tidak pernah kutemukan sebelumnya. Mereka bak gemintang
yang kerlipnya begitu berarti dalam
perjalanan hidupku.
Kini, aku semakin
yakin, tak ada
alasan bagiku untuk meninggalkan
sekolah yang telah memberiku banyak hal,
bahkan lebih dari yang kubutuhkan. Dan
bukan mustahil, akan menjadi jalan
bagiku untuk menjadi juara yang
sesungguhnya.[]
Tidak ada komentar