SURAT UNTUK SAHABAT ( TENTANG GAZA, DARAH DAN AIR MATA)
Untuk Sahabat-sahabatku.... Di bumi kau berpijak, di langit
yang kau junjung!
satu, dua, tiga… dan aku terus menghitung. Jumlah kepala yang terhitung mati, akan mati, dan mereka yang kejatuhan rudal-rudal. Merah, merah pekat, kental.... dan aku terus merasa
mual dengan darah yang berceceran. 31
Mei 2010, bangsa Israel yang buas dan
tidak waras menewaskan 16 orang secara
membabi buta pada misi kemanusiaan Freedom
Flotilla.
Maka terus aku
menghitung, 6151 orang syahid
dalam Intifada tahun 2000. Mereka yang
telah kita hitung mayatnya, GAZA yang
telah porak-poranda akibat penjajahan yang nyata. Penjajah itu menghancurkan rumah-rumah,
mesjid, perkantoran, dan jalan-jalan.
Kubah masjid sudah rata dengan tanah,
namun orang-orang di Gaza tetap sholat
berjamaah di samping puing-puingnya. Para
muslimah mereka tidak takut matahari dan tidak takut kematian (Bagaimanakah kita? Masih sibuk
pakai pemutih, eh?). Allah jadikan para
mujahidah itu subur dan beranak pinak
amat banyaknya. Seakan Allah hendak
berkabar bahwa mujahid baru telah lahir.
Delapan dari sepuluh anak laki-laki mereka bercita-cita ingin menjadi prajurit Brigade Al-Qosam.
Bagaimana dengan anak perempuan mereka?
Bukan main, rata-rata berkeinginan untuk menjadi dokter bagi mujahid yang terluka. Seolah tak tersimpan hasrat
lainnya selain ingin hidup mulia atau
mati syahid. Di akhir tahun, para ibu
sangat bangga pada anak mereka. Seribu anak di Palestina yang berumur 10 tahun baru saja
selesai menghafal 30 juz Al-Qur'an yang
agung.
Subhanallah! Subhanallah!
Entah kenapa, kita masih di sini. Kita masih setia dengan semboyan ”saya muslim Indonesia, itu
masalah Palestina”. Kita pula, yang dengan
bangga ingin mendudukan itu hanya
masalah kemanusiaan. Kita lebih suka
menjadi pejuang kemanusiaan ketimbang menyelamatkan
bumi dengan rahmat dan jihad. Sebagian
kita berlatih untuk berangkat jihad. Tapi apalah daya engkau kawan, dalam penjara
sekat-sekat nasionalisme. Penguasa
sedang jual tampang, ikut pemilu dan
menghitung berapa aset yang bisa dijaga di negeri ini. Penguasa negeri-negeri muslim
telah berkhianat dan memenjarakan muslim
Palestina di perbatasan GAZA.
Mereka terlalu pengecut, mereka cinta dunia dan takut mati. Cobloslah terus
gambar-gambar mereka di bilik suara,
lalu saksikanlah penghianatan mereka!
Dan demokrasi tetap menjadi topeng manis
mereka! Padahal dulu, ketika penggagas negara Israel, Theodore Hertzl, meminta tanah Palestina di
tahun 1902, dia mendapatkan jawaban yang
tegas dari Khalifah Abdul Hamid II yang
agung: ”Nasihati Dr. Hertzl supaya
jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini
(Palestina), karena ia bukan milikku.
Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi
kepentingan tanah ini dan mereka telah
menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi
silakan menyimpan harta mereka. Jika Daulah
Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina
tanpa membayar harganya. Akan tetapi,
sementara aku masih S hidup, aku lebih
rela menusukkan pedang ke tubuhku dari
pada melihat Tanah Palestina dikhianati
dan dipisahkan dari Daulah Islamiyah. Perpisahan
adalah sesuatu yang tidak akan terjadi.
Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup” Berharap
pada PBB untuk selesaikan Palestina? Ah,
basi. PBB takkan berpihak pada siapa-siapa
selain pada tuannya. OKI juga hanya
memiliki sedikit nyali. Mereka punya mata,
tapi tidak melihat. Mereka punya telinga tapi tidak mendengar. Mereka punya mulut, tapi
gemar berkata dusta. Kita banyak, tapi
seperti buih di lautan. Kita seperti
makanan yang diperebutkan anjing-anjing
lapar. Ahh, sahabat.... Perjuangan ini memang manis. Kita layaknya satu tubuh.
Jika tubuh yang satu
merasakan sakit, maka bergeraklah bagian
tubuh lainnya. Kita sangat berdaya, andai
saja kita tahu betapa berharganya kita. Andai
saja kita mengerti, yang membuat kita gagal
yakni ketika kita diam! Yang membuat kita kalah, jika kita menyerah. Lawanlah, meski hanya dengan air mata yang dapat menghimpun kekuatan kita untuk memanggul senjata. Bangkitlah! Dan bukalah sumpal-sumpal
mulut yang bisu, penutup telinga yang tuli,
dan tutup mata yang membutakan umat ini. Supaya mereka menyaksikan dengan
sejelas-jelasnya pembebasan tanah suci Al-Quds. Sesungguhnya pembebasan palestina itu dekat, Israel itu lemah. Israel memiliki senjata dan mempunyai sekutu, tapi mereka tidak memiliki Allah.
Tumpahnya darah
seorang muslim jauh lebih berharga
ketimbang hancurnya bumi dan alam
semesta. Maka tiadalah berguna militer negeri
ini termangu di barak-baraknya. Menyimpan
senjata-senjata atau sibuk menangkapi
pejuang-pejuang Islam di negeri sendiri.
Moncong senapan sudah jelas harus dibidik
kepada siapa. Sahabatku... Israel tidak
mengenal kata diplomasi! Mereka sudah
menjarah, berarti mereka menginginkan
darah tertumpah. Israel sudah menggurita
dalam kekuatan negara dan bangsa-bangsa.
Jika hanya individu-individu saja yang
bergerak menyerangnya, maka dimanakah
kita? Apakah kita mau ketika dihadapan
Allah kelak kita ditanya:
'dimanakah kamu
ketika saudaramu terluka?'. Bersatulah wahai
sahabat! Khilafah Islmiyah tak bisa ditawar-tawar
lagi. Hanya Khilafah yang mampu mengayomi
dan menolong mereka. Dakwah dan jihad
memanggil, Khilafah harga mati. Jangan
pernah lari dari perjuangan ini.... sejengkal
pun! Ahh... sudah malam, sahabat. Angin
malam mulai masuk ke pori-pori jendela
dan aku ingin ninabobo seperti dulu ibu
nyanyikan. Kembali aku terngiang tentang
anak-anak di jalur GAZA.
Ninabobo mereka adalah tentang jihad. Cerita-cerita tentang
perjuangan, desah nafas mereka yakni
dendang riang kemenangan. Kelak
Palestina kembali bercahaya, bangsa-bangsa
kera itu akan binasa, dan senyum akan
merekah tak terkira. Bilakah masa itu
tiba? Ibu-ibu mereka mengingatkan lagi.
'Janganlah kau menangis wahai anakku,
tujuan hidup kita untuk hidup mulia atau
mati sebagai syuhada'. Persis seperti
dulu juga ibu-ibu Aceh menepuk-menepuk
punggung anak mereka: Allah hai
dododaidi Bek tatakot keu darah ile Adak pih mate po mak ka rela.
” (Janganlah takut jika darah mengalir Walaupun engkau mati,
Nak, Ibu sudah relakan) Ahh, malam yang
membara. Sahabatmu fillah
Tidak ada komentar