IBNU JAUZI DAN PERJALANAN MENCARI ILMU
Teman saya pernah bercerita tentang seseorang yang berkeliling Indonesia. Saya Tpikir 'hebat banget'. Mahal dong ongkosnya? Tapi dengan tenang teman saya jawab 'nggak pake ongkos'. Saya bingung! 'Lha apa pake daun??' Ya, nggak laahhh. 'Tapi pake ilmu'. Karena ia ahli computer. Ada juga
ustads yang pintar ngaji bisa diundang
ke mana-mana karena ilmunya. Bahkan Pak
BJ Habibie disegani dan dikagumi bukan
karena hartanya, tapi ilmunya.
Terbukti, investasi ilmu begitu luar biasa, sehingga Rasulullah saw sendiri menasehatkan agar pantang menyerah mencari ilmu walau meski sampai negri Jet Li sekali pun. Ulama dahulu sadar betul dengan pentingnya ilmu sehingga membawa mereka menjadi ulama besar.
Contohnya Ibnu Jauzi. Beliau memiliki peran dalam semua bidang ilmu, beliau adalah seorang yang sangat menonjol dalam bidang tafsir, memiliki gelar al-Hafizh dalam bidang hadits, termasuk ulama yang sangat luas
ilmunya dalam bidang sejarah, bahkan
beliau memiliki satu buku dalam bidang
kedokteran yang diberi nama “Kitab
al-Luqath”.
Ibnu Jauzi adalah sebutan kakeknya untuk beliau, yang berarti anak kelapa. Beliau
dipanggil dengan julukan itu karena
pohon kelapa yang beliau miliki di
Wasith, di mana di sana sama sekali
tidak ada pohon kelapa kecuali milik beliau. Nama lengkap beliau adalah 'Abdurrahman bin Abil Hasan 'Ali bin Muhammad bin 'Ubaidillah
al-Qurasyi. Ibnu Jauzi dilahirkan pada tahun 1114 M di Baghdad.
Ibnul Jauzi menulis buku sebanyak 2000 jilid dengan tulisan tangan beliau. 100
ribu orang telah bertaubat dengan
perantaraannya dan 20 ribu orang masuk
Islam dengan perantaraan beliau pula.
Nah bagaimana mungkin orang yang nggak
berilmu bisa buat karya demikian? Ini
adalah nasihat Ibnu Jauzi kepada anaknya yang memperlihatkan betapa beliau mencintai ilmu.
“Ketahuilah wahai puteraku, bahawasanya ayahku ialah seorang yang kaya raya dan beliau
mewariskan beribu-ribu harta. Ketika aku
berusia baligh, diberikan kepadaku 20 dinar serta dua buah rumah dan mereka berkata kepadaku, “Inilah
warisanmu seluruhnya.” Kemudian, aku
mengambil dinar tersebut dan kubelikan beberapa
kitab.
Aku menjual kedua rumah tersebut untuk biaya menuntut ilmu. Tidak ada lagi padaku sisanya. Ayahmu
tidak pernah merasa merendah diri dalam
menuntut ilmu. Tidak pernah keluar berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri
yang lain karena kesibukannya memberikan
nasihat dan tidak pernah mengutus seorang budak untuk meminta sesuatu kepada siapa pun, urusannya
tetap berjalan dengan baik. Oleh kerana
itu, bersungguh-sungguhlah wahai puteraku dalam menjaga martabatmu untuk mencari dunia dan merendahkan
diri di hadapan penghuninya.
Qana'ahlah kamu, niscaya kamu akan berwibawa. Ada yang berkata, “Barangsiapa yang merasa cukup dengan
sepotong roti dan kubis, tidak akan ada
yang memperbudaknya.” Perjalanan mencari ilmu memang tidak mudah seperti yang
beliau ungkapkan dalam bukunya Shaidul
Khathir (Ibnul Jauzi, 2/330). Beliau menuturkan
kisah perjalanannya yang penuh penderitaan dan kesulitan dalam mencari ilmu dan bagaimana beliau
menghadapi semua itu dengan penuh
kesabaran. Ia berkata, “Sungguh, dalam perjalanan mencari ilmu banyak sekali kesulitan yang saya hadapi.
Semua itu saya rasakan lebih manis daripada madu. Sebagaimana yang
disebutkan dalam sebuah syair: “Barangsiapa yang cita-cita tingginya
mengalahkan nafsunya, maka apapun yang
menimpanya semua tetap ia cintai“. Ketika saya masih kecil, saya terbiasa
memunguti sisa-sisa roti kering, kemudian
saya keluar untuk mencari hadis. Saya biasanya duduk di pinggir sungai Isa di Baghdad, karena saya tidak bisa
memakan langsung roti itu kecuali dengan
air.
Tentunya karena kerasnya. Setiap kali satu suapan pasti saya ikuti dengan minum air. Dan naluri saya
tidak bisa menyembunyikan kegembiraan
dalam menuntut ilmu itu, meskipun secara lahir orang melihatnya cukup menderita. Saya sudah cukup
bersyukur dengan keadaan saya. Dan
benar, akhirnya jerih payah ini membuahkan pengetahuan luas.
Saya dikenal sebagai orang yang banyak menghafal hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, riwayat keadaan beliau, para shahabat
dan tabi'in. Beliau wafat di rumahnya di desa Safah Qâsiyûn dan dikebumikan dalam upacara yang dihadiri oleh Sultan dan
para jaksa. Beliau sangat cerdas, rendah
hati, banyak hafalannya, dan tiada tandingannya. Beliau menulis kitab tafsir yang sangat besar
sebanyak dua puluh sembilan jilid. Beliau
wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 654 H.
D'RISEr, tak ada yang lebih baik dari pemanfaatan waktu
kecuali dengan mencari ilmu. Biar kata
kita udah lulus SD/SMP/SMA terus nggak ngelanjutin
sekolah, bukan berarti kita mati kutu untuk mencari ilmu. Tetep, kewajiban nuntut ilmu pengetahuan dan
agama nggak boleh cerai dari keseharian
kita. Ayo, kasih nilai lebih dalam hidup dengan memberikan manfaat bagi orang lain dari ilmu
yang kita tekuni. Go![Ridwan]
Tidak ada komentar