KAIN BY IRAWATI TRIKURNIA
Aku melihat berjajar kain dipajang dengan indahnya. Warna-warna tergerai bak gadis-gadis cantik
yang Amemajang rambut indahnya pada
kontes kecantikan sebuah produk shampoo
terkenal. Berbinar mataku melihat warna
kain yang kuinginkan, ungu tua. Aku suka
sekali warna ungu, entah kenapa. Bagiku, warna ungu ibarat misteri yang tiada bertepi. Kujangkau
kain itu dan kuremas dengan lembut.
Kainnya memang lembut, adem dan jatuh.
Cocok sekali untuk membuat jilbab impianku. Tapi setelah melihat harga permeternya, mataku
hampir melompat keluar. “Ya Alloh, tiga
puluh ribu permeter! Mahal sekali!” seruku
agak keras, membuat mbak-mbak penunggu toko kain melongok ke arahku dengan curiga. Seorang
diantara mereka menghampiriku. “Ada yang
bisa dibantu mbak?” tanyanya ramah, tapi matanya sedikit waspada. Tingkahku yang aneh membuatnya sedikit siaga. Mataku masih lekat
menatap kain indah itu. “Mbak, kain ini
mahal sekali? Apa nggak bisa turun dua
puluh ribu permeter mbak?” tanyaku sambil sedikit memasang tampang memelas. Tanganku masih
memegang kain itu, merasa sayang untuk
melepasnya. “Ada kain lain yang harganya
duapuluh ribu. Yang ini mbak, mau?” dia
menunjukkan padaku kain yang lain, tapi lebih
tipis. Aku menggeleng perlahan.
“Nggak jadi deh mbak, terimakasih” kulangkahkan kaki dengan berat keluar dari toko kain itu.
Sekali lagi kulirik kain incaranku tapi
dengan lesu, lalu aku menghela nafas.
Sepertinya aku tidak berjodoh dengan kain itu. Benakku melayang mengingat pakaian yang
dikenakan Sukma dan Sari, temanku.
Mereka kemarin memakai jilbab baru,
dengan bahan yang sama tapi warna yang berbeda. Terlihat cantik dan indah. Aku benar-benar
ingin memiliki yang sama seperti mereka,
tapi warna ungu. Kebetulan aku bisa
menjahit, jadi biaya bisa dihemat.
Tapi, tetap saja
jatuhnya masih mahal. Sampai rumah aku
masih terbayang-bayang kain itu. Tanpa sadar aku membuat sketsa jilbab dengan menggunakan warna
ungu, kupadu dengan beberapa bahan
senada untuk tepinya dan rompinya. Ah…terlihat indah. Lalu tiba-tiba ada yang merebut sketsaku dari
belakang “Hayo, gambar apa?” tanya kak Ranti merebut sketsaku, lalu lari ke kamarnya. Aku kaget setengah mati. “Kakak!
Kembalikan!” seruku sambil mengejarnya. Kak Ranti sambil tertawa berlari menggodaku dengan mengangkat-angkat
sketsaku.
Aku gemas dengan kelakuannya,
selalu suka menjahiliku. Kami terus berkejar-kejaran mengelilingi meja makan. Lalu dia mendadak berhenti,
membuatku kaget dan berhenti mendadak
dan menabraknya. Diamati dengan seksama gambarku dengan diacungkan, menghindari untuk kurebut. “Kamu
pinter sekali bikin sketsa dik. Baju ini bagus.” Puji kak Ranti. Kak Ranti menolehku dengan senyum menggoda lalu
dikacaukannya rambutku. Aku terkekeh-kekeh.
“Alhamdulillah, iyalah….aku kan hobi nggambar.” Aku melirik sketsa baju jilbab yang
diminta Vena sahabatku untuk baju
pengantinnya yang sedang diamat-amati
kak Ranti. Rasa kebahagiaanku yang
meluap karena Vena, sahabatku, akan
menikah; membuat suasana mood-ku untuk
merancang begitu meluap. Aku sangat
bersemangat. Bahkan beberapa waktu sebelumnya
aku ikut survey bahan-bahan kain yang indah-indah dengan Vena. Karena itu aku jadi ingin membuat satu buah jilbab untukku. Ternyata “Dik, buatkan skets buat bajuku”
“Baju apa kak?” tanyaku dengan nada gemetar, tapi Kak Ranti tidak menyadarinya. Setiap kak Ranti meminta tolong padaku untuk menjahitkan sesuatu, perasaanku memburuk. Kak Ranti lalu bergegas mengambil majalah wanita, lalu menunjukkan model gaun long dress lengan panjang, tapi press body. Bentuk bustier,
kemben yang terkesan seksi seperti yang
dipakai seorang penyanyi terkenal di
cover sebuah majalah wanita. “Hampir-hampir
seperti inilah, tapi tolong dibuat beda
sedikit” Mataku melotot ke kak Ranti.
Dia melirikku keheranan.
“Kenapa memangnya?” tanyanya. Pura-pura tidak tahu. Padahal dia mengerti sekali aku
paling anti mendesain baju yang bukan
baju jilbab. “Ini bajunya ketat kak! Keliatan lekak-lekuk tubuhnya! Aku nggak mau bikin desain baju yang
seperti itu. Aku hanya bisa membuat
sketsa busana muslimah yang benar,
terutama bentuk gamis alias jilbab tau!” jelasku sambil marah.
Kak Ranti mendengus kesal. “Nggak mau?
Ya sudah…, toh aku punya langganan
penjahit. Dasar kau adik tidak tahu diri. Sudah aku sekolahkan susah-susah di SMK, kau malah tidak pernah mau membuatkanku baju!!” bentak kak Ranti dengan kemarahan meluap.
“Kakak! Mengertilah kak…jangan marah….” Rayuku dengan nada lemah. Aku benci perbedaan antara aku dan Kak Ranti. Selalu jika masalah
baju mencuat, akan menjadi awal
pertengkaran kami. Masalah baju, hal-hal
yang berkaitan dengan kain, sangatlah
sensitif. Aku merasa serba salah jika sudah
begini, tapi aku memang berprinsip itulah yang benar. Sampai mati aku akan mempertahankannya. Aku terbangun saat adzan
terdengar bertalu-talu. Kukerjapkan
mataku, lalu aku teringat sesuatu.
Seketika kantukku hilang.
Kemarin aku
dan kak Ranti bertengkar. Biasanya jika
itu terjadi, kak Ranti ngambek dan nggak pulang.
Aku benar-benar mencemaskannya. Kuberlari mendapatkan kamarnya, ternyata benar. Kosong. Semalam aku telpon handphonenya, tidak diangkat-angkat. Aku cemas sekali. Ada apa dengannya? Padahal kak Rantilah sekarang yang menjadi gantungan hidupku. Semenjak orang tua kami meninggal dalam kecelakaan, aku sangat beruntung ada kak Ranti disisiku yang saat itu baru mendapatkan pekerjaan pertamanya. Kami tidak punya sanak saudara yang lain, hanya berdua. Kak Ranti mati-matian cari nafkah demi mencukupi kebutuhan kami. Dia sekarang sudah seperti orang tuaku. Tapi semenjak aku aktif mengaji setahun belakangan ini, benturan diantara kami semakin keras. Kak Ranti kelihatan terkekang karena terlalu sering kutegur.
Sudah tiga kali ini kak Ranti tidak pulang jika habis bertengkar denganku.
Sepertinya menginap di rumah temannya.
Tapi setiap kali aku Tanya, dia tidak mau menjawab. Aku sungguh sedih. Dadaku terasa sesak. Kuseret
langkahku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dalam tahajudku, aku menangis sepuasnya
melepaskan kepepatan hatiku. Pertengkaranku
dengan kak Ranti membuatku tersiksa batinku tersiksa. Tapi dengan meratap padaNya, semua beban itu
jadi hilang dan memberiku kekuatan untuk
teguh dalam memperjuangkan prinsip kebenaran. Saat membereskan mukenahku, aku melirik tumpukan
mukenah kak Ranti. Mataku kembali
menghangat.
Kak Ranti…kamu dimana? Saat benakku mengelana memikirkan kak Ranti, terdengar ada
yang membuka pintu depan. Pasti kak
Ranti! Aku berlari ke depan dan mendapatinya sedang masuk perlahan, terlihat kagok karena terlihat
olehku. Kak Ranti terdiam sejenak, lalu
mengucapkan salam. “Assalamu'alaikum dek! Pagi sekali kau bangunnya…” tanyanya sambil berjalan masuk. “Kakak ke mana aja?
Kenapa semalam nggak pulang? Aku khawatir kak…aku telpon-telpon kakak juga nggak
nyambung-nyambung…” cerocosku dengan
cemasnya bercampur marah sambil meraih tangannya. Kak Ranti menatapku dengan pandangan bersalah.
“Kamu khawatir dik?” tanyanya sambil mengusap wajahku
lembut. Aku lalu memeluknya. “Maafkan
aku kak. Kakak pasti nggak pulang gara-gara aku nggak mau ndesainkan baju kakak ya. Seharusnya aku nggak
perlu marah, tapi kan bisa bilang
baik-baik ke kakak. Aku terbakar emosi. Maaf ya kak. Lain kali jangan tidur di luar lagi….” Kak Ranti tertawa
terkekeh-kekeh. Kulepaskan pelukanku dan
menatapnya heran. “Aku lagi khawatir, kenapa kakak malah tertawa? Kakak keterlaluan!”
sungutku sebal. Kak Ranti mengacaukan
rambutku tanda gemas.
“Kau ini sungguh lucu. Kakak nggak pulang karena lagi
lembur. Bukan karena lagi marahan sama
kamu. Memangnya kakak anak kecil, pake acara ngambek segala.” Jelasnya sambil masih tertawa
kecil. Aku mendengus kesal karena malu. “Kenapa
kakak nggak bilang?”
“Maaf….mendadak bos telpon, lalu pas kakak mau pamit, kamu sudah tidur. Nih martabak, buat sarapan kita.”
Aku terkekeh menyambut makanan favoritku
itu. Setelah shubuhan berjamaah, kami sarapan dengan suka cita. Saat aku akan berangkat mengaji,
kak Ranti menghadangku didepan pintu
kamarku. Aku melongok heran. “Ada apa kak?” tanyaku heran. Kak Ranti melempar
bungkusan kresek/tas plastik berwarna
hitam ke tempat tidurku.
“Nih…lihat dulu…” aku
bergegas melihat isi kresek itu. Ternyata kain ungu polos yang indah yang aku idam-idamkan
selama ini. “Ini…buatku kak?” mataku berbinar-binar karena terharu. Kak Ranti meleletkan lidahnya, meledekku. “Yee, enak
aja. Itu punya kakak. Kain mahal tuh…barusan
kemarin kakak beli, karena ngeliat sketsa jilbabmu yang warna ungu kemaren, kelihatan
keren…tolong jahitkan persis seperti
sketsamu kemaren, untuk kakak…” Aku melonjak
kaget. “Serius nih? Kakak mau aku jahitkan model pakaian jilbab?” tanyaku memastikan. Aku khawatir dia
hanya menggodaku. “Serius! Desain
jilbabmu cantik sekali, aku ingin nyoba memakainya….”
Ujar kak Ranti.
“Janji ya kak! Janji ya….mau pakai jilbab jahitanku!” tanyaku lagi dengan [enuh semangat sambil
menggoyang-goyang tangannya. “Iya…iya….kamu rese banget sih….tapi kalo jelek,
aku nggak mau pakai” 'Dijamin keren
kak!” kak Ranti hanya tersenyum melihat tingkahku
yang kegirangan. Alhamdulillah, ternyata kakak mau membuka hatinya! Kuambil sebagian uang
tabungan, aku ingin memberi kak Ranti
kejutan! Seminggu kemudian aku tidak bisa tidur nyenyak.
Aku menjahit dan
menjahit terus jilbab kak Ranti. Kak Ranti sampai-sampai mengomeliku terus karena aku
sering lupa makan. Tapi setiap kali aku
bilang aku sibuk menjahit jilbabnya, dia
terdiam dengan pandangan berlinang karena terharu. Dalam seminggu ini aku berulang kali
keluar masuk toko kain, rasanya puas
melihat kain yang indah-indah, sekalian
membelinya beberapa. Penat tak terasa setiap kali membayangkan senyum kak Ranti akan mengembang.
Pas seminggu aku memberikan kak Ranti
kado, dibungkus kertas kado motif
Strawberry kesukaannya. Mata kak Ranti berbinar. “Ini jilbab kakak yang kemaren
ya? Sudah jadi rupanya?” Tanya kak
Ranti.
Aku tersenyum senang. “Iya kak, tapi nggak cuman itu. Coba
kakak buka.” Kak Ranti membukanya.
Terlihat tiga jilbab cantik yang terlipat rapi di dalam plastic. Selain warna ungu
kesukaannya, ada warna hijau muda dan
pink yang cantik. Kak Ranti membuka semuanya
perlahan dan menggerainya di atas tempat tidurnya. Semua cantik bak buatan butik ternama.
Kak Ranti terpukau
melihat karyaku, membuatku terharu. “Ini semua, buat kakak?” tanyanya dengan
nada bergetar. “Iya kak. Yang dua itu
kado dariku…” disentuhnya perlahan kain
jilbab warna hijau dan pink itu, setelah tahu kualitasnya sama dengan yang dibelinya, kak
Ranti balik bertanya menyelidik. “Kamu
yang menjahit semua ini?” “Ya kak..” “Tapi, kainnya mahal dek…uang dari mana?” “Dari
tabunganku kak…” “Tabunganmu…bukankah untuk biaya kuliah, hasil kamu terima jahitan kan?” “Nggak apa-apa, aku
pengen banget menjahitkan jilbab untuk
kakak.
Mumpung kak Ranti lagi pengen dijahitkan jilbab, sekalian aku jahitkan tiga, untuk
ganti-ganti kak. Cantik juga kan untuk
dipakai ke kantor. Karena jilbab juga seperti kerudung kak, wajib untuk dipakai kalau keluar
rumah. Mana cukup kalau cuman satu.” Aku
meraih tangan kak Ranti sambil tersenyum
padanya dan mata yang berkaca-kaca, karena lelah menjahit, juga karena terharu. “Dipakai
terus ya kak, aku sudah susah-sudah njahit lo…” Kak Ranti menangis karena terharu lalu
memelukku. Aku tahu, sebetulnya kak
Ranti belum siap memakai jilbab terus.
Tapi semoga, setelah tahu pengorbananku, dia terdorong untuk terus memakainya. Dan memang tepat prediksiku. Alhamdulillah
Alloh menolongku. Kak Ranti terlihat
cantik pagi itu saat berangkat kerja
dengan jilbab hijau mudanya. Wajahnya terlihat ceria. Semoga dia bisa istiqomah memakainya, amin![]
Tidak ada komentar