Roman Hattin Eps. 06
Fajar emas menyingsing, mengantarkan datangnya sebuah hari
yang baru. Sebuah hari yang aku percaya
akan penuh dengan kemenangan Islam.
Walaupun sebenarnya, apapun kenyataan yang
F terjadi, tak pernah kaum muslim kalah. Jika mati, maka kemenangan syahid yang didapat. Jika hidup, maka
kemuliaan di dunia dan di akhiratlah
bagi mereka. Hari ini aku mendapatkan seorang saudara baru yang baik sekali. Phillipe, namanya.
Dia orang Eropa, dari
Prancis. Dia baru saja masuk Islam tadi
malam. Sebelumnya dia adalah anggota Pasukan Salib. Kemenangan untuk Islam telah turun semenjak
tadi malam karena masuk Islamnya
Phillipe. Begitu pula hari ini, insya Allah. Sholat pertama kali yang
dilaksanakan Phillipe adalah sholat subuh tadi pagi. Kami melaksanakan sholat subuh berjamaah
yang dipimpin oleh Sultan Shalahuddin.
Phillipe belum tahu bacaan sholat, sehingga dia hanya mengikuti gerakan kami sholat.
Pagi ini kami duduk di dekat sebuah api unggun yang hangat di dekat kemah. Aku
mengajari Phillipe membaca surat
Alfatihah. Aku memegang sebuah Alquran di hadapanku. “Surat ini pendek, hanya
tujuh ayat. Cukup mudah menghapalkannya.”, kataku.
“Walaupun pendek, seluruh makna Alquran terkandung di dalam tujuh ayat ini. Surat ini disebut juga ummul
Quran. Induknya Alquran.”. “Aku memintamu mengajariku, Ahmad!”, kata Phillipe.
“Aku juga ingin menjadi ulama seperti
Sultan.”. “Alquran ini untukmu!”, kataku. Aku berikan Alquran bersampul putih yang kupegang itu. “Hadiah!”. Dia tersenyum
menerimanya.
Dia timang2 Alquran
itu seakan anak kesayangannya. Didekapnya kitab suci itu di dadanya. Aku ajari Phillipe surat Alfatihah.
Kuajari dia maknanya, dan bagaimana dia
membacanya. Kemampuan menghafalnya
sangat cepat, sungguh menakjubkan. Dia sudah
lama tinggal di Tanah Suci sehingga dia sudah tidak asing lagi dengan bahasa Arab, hal itu makin memudahkannya memahami banyak hal. “Komandan,
Sultan memanggilmu menghadap!”, tiba2 seorang
prajurit memanggilku. “Ada apa rupanya?”. “Menyusun strategi jihad hari ini!”,
kata prajurit itu. “Sebentar!”, kataku pada Phillipe. Dia mengangguk padaku. “Maaf, Sultan ingin Phillipe juga
bergabung!”.
Aku dan Phillipe bergegas menuju tenda Sultan Shalahuddin. Seluruh prajurit mempersiapkan
diri dan senjata mereka untuk jihad hari
ini. Seisi perkemahan mulai sibuk. “Ahmad
dan Phillipe, kemarilah!”, Sultan menyambut kami saat kami memasuki tendanya. Di sana
telah berkumpul seluruh komandan
pasukan, termasuk Al-Afdal, putra Sultan
Shalahuddin, yang baru saja tiba pagi ini dari Damaskus. “Phillipe, perkenalkan, ini
putraku.”, Sultan memperkenalkan
putranya kepada Phillipe. “Saudaraku, Phillipe!”, Al-Afdal memeluk erat dan mencium kedua pipi Phillipe. “Terima kasih”,
kata Phillipe.
Sultan dan seluruh komandan pasukan yang hadir di sana mengelilingi sebuah peta yang diletakkan di
atas sebuah meja. “Kelompok pengintai
menginformasikan bahwa di Tiberias
kekuatan militer yang ada sangat lemah, maka kita akan memulai futuhat hari ini ke Tiberias.
Kita akan mengepung benteng Tiberias dan
mendudukinya. Sebab saat ini Raymond
tidak ada di sana. Yang ada hanya Ratunya ”. “Maaf Sultan, dari arah Jerusallem akan
datang sebuah pasukan yang sangat besar
yang dipimpin langsung Raja Jerusallem,
Guy de Lusignant! Sebenarnya sebelum ke sini, tadinya aku akan bergabung dengan pasukan
itu!”, kata Phillipe.
“Kekuatan prajuritnya sebanyak 50 ribu orang yang dipimpin Reynald de Chatillon, Amalric,
William de Montferrat, Gerard de Ridefort,
Humphrey de Toron, Hugh de Jabala,
Plivain de Botron, Raymond de Antioch, Joscelin de Edessa, dan Balian de Ibelin.”. “Pasukan
pengintai pun mengatakan bahwa pasukan dari Jerusallem itu telah ada di sekitar mata air
Saffuriyah, jaraknya masih cukup jauh
dari Tiberias!”, Sultan Shalahuddin
menjelaskan. “Kita kuasai Tiberias pagi ini sebab di dalam pasukan itu ada Raymond Raja
Tiberias, dan kita pancing mereka agar
mereka menjauhi Saffuriyah. Sebelum
mereka sampai di Tiberias, mereka akan kelelahan dan kepanasan, sebab dalam jarak sejauh itu
tak ada sumber air lain selain di
Tiberias.
Saat mereka memakan umpan
kita, kita kirim pasukan untuk mengepung Saffuriyah, dan celah di Tanduk Hattin.
Sehingga kita mengepung mereka dan
mereka tidak memiliki tempat untuk
mundur lagi.”. Taktik sudah diputuskan, maka kami berserah diri kepada Allah dan mempersiapkan segalanya untuk
penyerangan pagi ini ke benteng
Tiberias. "Ahmad, kau pimpin
pasukan untuk futuhat ke Tiberias. Phillipe,
kau bergabung di bawah komando Ahmad!", perintah Sultan. Kami siaga Hari masih pagi.
Matahari baru sepenggalahan.
Namun Tiberias telah kami
taklukkan dengan gilang gemilang. Kulihat Phillipe bertempur dengan gagah berani. Aku menempatkan pasukan
muslim di dalam benteng Tiberias,
mengepung citadel Ratu Eschiva. Pasukan utama pimpinan Sultan Shalahuddin tersembunyi di
Kafr Sabt, tak jauh dari Tiberias. Kami
menunggu siang hari sambil mempersiapkan diri untuk pertempuran yang lebih besar lagi hari ini.
Aku berdiri di gerbang benteng Tiberias
bersama Phillipe. “Pasukan musuh sangat besar!”, kata Phillipe. Kulihat
Phillipe mengusap-usap gagang pedangnya.
Matanya memandang ke satu titik di balik
cakrawala. Di belakang bukit tempat di mana 50 ribu pasukan musuh itu mungkin berada. “Yah, terkadang
kekhawatiran itu juga datang padaku!”, kataku.
“sebuah kekhawatiran yang sangat manusiawi.”. “Jumlah
pasukan kita hanya 12 ribu orang. Artinya seorang prajurit harus membunuh tak kurang dari 6 orang.”, aku
tersenyum melihat kekhawatirannya. Di
dalam diri setiap manusia pasti ada ketakutan. Tapi ada satu hal yang pasti, yaitu janji Allah. “Saudaraku…”,
kataku. “Semenjak perang untuk membela agama ini pertama kali dimulai oleh Rasulullah Muhammad,
kami tak pernah berperang karena jumlah
pasukan atau persenjataan.”. Aku duduk di atas jembatan di ambang gerbang
benteng Tiberias.
Phillipe duduk bersamaku. “Di dalam perang seperti inilah
kami sering menyaksikan dengan mata
kepala kami sendiri bahwa janji Allah adalah benar. Saat kita mengayun pedang melawan
mereka, saat itulah Allah menyiksa
mereka melalui tangan kita. Saat kita memanah, Allah-lah yang mengirim panah itu kepada mereka. Allah akan
menolong kita. Dia akan mengirimkan
tentara malaikat yang tidak kelihatan. Betapa sering terjadi bahwa jumlah pasukan yang sedikit bisa
mengalahkan jumlah pasukan yang banyak
dengan pertolongan Allah.”. Mata Phillipe tidak teralihkan dari bukit kecil di
hadapannya itu. “Ada satu hal yang
dimiliki pasukan muslim, yang tidak dimiliki siapapun.”, kataku. “Kaum muslim lebih mencintai kematian
sebagaimana orang2 kafir mencintai
kehidupan. Mati sebagai syahid adalah sebuah kematian yang paling mulia. Dan hadiah dari Allah bagi
mereka adalah masuk sorga secepat
kilat.”. Kulihat Phillipe tersenyum.
Matahari makin terik di angkasa. Datanglah seorang prajurit muslim berkuda mendekati
kami.
“Assalamu'alaikum, Komandan!”,
katanya. “Perintah dari Sultan.”. Dia menyerahkan sebuah surat perintah. Kubaca
surat itu dengan seksama. “Phillipe,
pasukan musuh telah meninggalkan Saffuriyah, dan Sultan telah mengirimkan pasukan dari sisi
lain untuk mengepung Saffuriyah. Kita
bersiap. Kita akan mengganggu mereka!”. Segera kuhimpun pasukanku di Tiberias,
tak lama kemudian kami keluar benteng
Tiberias. Aku memacu kudaku sekencang-kencangnya. Phillipe berkuda di sisiku.
Tibalah kami di bukit kecil, cukup dekat dengan pasukan salib itu. Kami berhenti di sana. Aku
melihat jumlah pasukan salib yang sangat
besar, namun mereka kepanasan dan kehausan. Sumber air terdekat hanya akan mereka temukan di
dalam benteng Tiberias. Allah akan
memberi pertolongannya kepada kami. Pasukan Salib melihat pasukanku yang
berkumpul di atas bukit. Kugenggam erat
bendera hitam yang diwariskan Rasul, aku ikatkan dia pada tombakku. Pedangku terhunus. “Innallaha
ma'ana…”, pekikku. “Sesungguhnya Allah bersama kita!”. “Allaaaahhu Akbar…”,
raung Phillipe dengan lidah Eropa-nya. Dia mengangkat pedangnya tinggi2. Dia
mencium kalimat syahadat yang tertulis
di bendera hitam yang aku pegang.
“Allaaahhu Akbar”.
Kami menyerbu pasukan kafir itu dengan kekuatan dari Tuhan. Kami melarikan kuda kami menyerang
mereka. Kami menuruni bukit dengan
pedang terhunus, sementara mereka
tersiksa kepanasan dan kehausan. Derap langkah menguapkan keringat dan mengkabutkan angkasa.
Kami menyerang pasukan berkuda terdepan.
Jumlah pasukan mereka sangat banyak
namun mereka minim kesiagaan sebab
mereka sudah lebih dulu tersiksa oleh panas terik dan haus. Mereka letih.! Phillipe bertempur dengan
gagah. Aku melihat dia bertarung dengan
seorang Prajurit Salib yang sepertinya dia kenal. “Sekarang aku akan membunuhmu, kau
pengkhianat tuhan Yesus!”, teriak
prajurit salib itu kepada Phillipe. “Akulah orang yang sangat mencintai Yesus,
sebab dia utusan Tuhan. Bukan kau,
George! Kau sesat!”, kata Phillipe. Dia
menodongkan pedangnya. “Menjadi muslimlah kau, maka dosa2mu akan diampuni. Kalau tidak akulah
malaikat kematianmu.”.
“Jangan pernah kau
bermimpi.”, jeritnya. “Pengkhianat harus
mati…!!” Phillipe melarikan kudanya dan menyerang orang yang dipanggilnya George itu. Mereka mengadu pedang
mereka. Suara besi beradu dengan besi
memenuhi udara. Aku menusukkan pedangku
ke perut seorang prajurit kafir dan dia
tersungkur ke tanah. Kuangkat panji hitam yang kubawa tinggi2, memberi tanda kepada prajuritku agar
kembali mundur ke Tiberias sesuai
rencana. Misi serangan pengganggu telah
berhasil. Saat aku memecut kudaku untuk mundur, kulihat Phillipe telah berhasil membunuh George dengan
memenggal lehernya. “Siapa dia?”,
tanyaku. “Dulu dia sahabatku!.”, sahut Phillipe. Sungguh getir.! Dia pun memacu
kudanya mengikuti aku. Pasukanku mundur
ke bukit kecil. Kami terus memacu kuda sampai melewatinya. Di sana kulihat pasukan Sultan
Shalahuddin telah bersiap siaga, keluar
dari Kafr Sabt. Kami langsung bergabung
dengan pasukan Sultan. “Tidak lama lagi mereka akan datang kepada kita,
Sultan.”, aku melapor kepada Sultan. “Bagus
sekali!”, puji Sultan. Sultan Shalahuddin melihat Phillipe dan tersenyum. “Bagaimana perasaanmu, Phillipe? Dalam Jihadmu
yang pertama ini?”. “Aku sangat bahagia,
Sultan.”, sahutnya.
“Tak pernah ada kekalahan bagi kita!”. “Benar, Sultan! Tak
pernah!”, Phillipe menggenggam pedangnya
kuat2. “Persiapkan semuanya!”, perintah Sultan pada seluruh pasukan. Semua bersiaga dengan senjata dan
posisinya. (bersambung).
Tidak ada komentar