Umi di mana abi ? By Ridha Sriwahyuni
Malkah Qafishah menahan rasa sakit di perutnya. Di penjara Al- Majdal tubuhnya yang ringkih
semakin Mlemah oleh penderitaan demi
penderitaan yang ia terima. Hanya lirih
dzikir di bibirnya yang sunyi mampu menjadi
penguat hidupnya dan bayi yang telah delapan bulan berada di rahimnya. Sudah hampir sepuluh bulan
ia ditahan di penjara itu.
Ia sendiri tidak tahu apa salahnya. Kata mereka Malkah dituduh hendak melakukan bom bunuh
diri. Ia ditangkap oleh tentara Israel
pada tengah malam di rumahnya di kota
Nablus. Di dalam penjara Malkah menerima siksaan- siksaan yang tidak manusiawi. “
Haus…haus…air…air…” rintih Malkah. Kaki dan kedua tangannya yang diborgol membuat Malkah yang
lemah tidak dapat berbuat apa- apa. Seorang
tentara Israel membuka pintu sel. Sel yang sangat sempit, hanya berukuran dua meter
persegi, kotor, dingin dan tidak
mempunyai ventilasi.
Di lantai terdapat lubang
yang digunakan untuk buang air yang baunya amat busuk. Tempat buang air itu terletak di
samping tempat tidur yang basah. Dinding
sel yang berwarna bau- abu sudah rusak sehingga
untuk bersandar saja tidak bisa. Tentara itu memasang wajah sangar saat
mendengar rintihan Malkah yang kehausan.
“ Kau haus, heh? “ Malkah mengangguk pelan. Tentara Israel itu mengambil sebuah
gelas plastik di pojok sel lalu
mengencinginya. “ Minum ini ! “ serunya
kepada Malkah sambil menyodorkan gelas
yang berisi air kencingnya sendiri. “ Tidak! Semoga Allah melaknatmu ! “
“ Apa? Kau tidak mau?
“
“ Aku tidak mau! “
“ Kalau kau tidak mau
meminumnya aku akan menendang perutmu
dan aku akan menginjak- injaknya hingga bayimu keluar dalam keadaan hancur “ Malkah
Qafishah merinding mendengar ancaman itu. Ia teringat pada rekannya Fatimah Ghazalah
yang dibantai oleh tentara Israel saat
sedang hamil. Fatimah berikut bayinya yang
masih dalam kandungan tewas seketika. Malkah tidak ingin bayi dirahimnya tersakiti oleh tentara
laknatullah. Meskipun bayi itu tidak ia
inginkan. Malkah memandang Yahudi itu dengan penuh kebencian. Mereka adalah orang- orang yang tidak
mempunyai prikemanusiaan. Sejak tahun
1946 sampai saat ini mereka tidak henti
melakukan pembantaian terhadap rakyat Palestina. Pembantaian itu bukan dilakukan pada kelompok
bersenjata, tapi pada warga sipil yang
tidak berdosa.
Pembantaian King David di tahun 1946, Pembantaian Baldat Al-Shaikh pada
tahun1947, Pembantaian Yehida,
Pembantaian Khisas, Pembantaian Qazaza, Pembantaian
Hotel Semirami, Pembantaian di Qibya, Pembantaian Kafr Qasem, Pembantaian Qana,dan lainnya telah
membunuh ratus ribuan warga. Tidak
peduli ia wanita, anak- anak atau orang tua. Mereka beringas seperti serigala yang selalu
kelaparan. Hati Malkah perih, teringat
saat ia menyaksikan sendiri ibu dan ayahnya dibantai di depan matanya pada pembantaian
Qana tahun 1996.
Ketika itu umur Malkah masih delapan tahun. Tentara Israel mematahkan leher ayahnya dengan tongkat dan
menembaki ibunya. Sementara Malkah
dibawa lari oleh kakeknya sehingga jiwanya
terselamatkan. Namun pembunuhan terhadap orangtuanya itu selalu menjadi mimpi buruk
baginya yang membuat ia murung sepanjang
hari. “ Minum! “ tentara yahudi itu menempelkan mulut gelas ke bibr Malkah. Aroma air seni yang busuk membuat
Malkah mual. Ia ingin menepis gelas itu,
namun tangan dan kedua kaki Malkah yang diborgol
membuatnya tidak dapat berkutik. “ Ayo minum “ ! tentara iasrel itu memaksakan
air seninya yang telah ditampung dalam
gelas masuk ke dalam mulut Malkah. “ Fuuh !“ Malkah meludahkan air seni yang
masuk ke mulutnya hingga mengenai muka
tentara Israel tersebut. “ Kurang Ajar! Kubunuh kau ? “ seru tentara itu dengan
nada penuh amarah. Malkah menatap
tentara itu dengan mata berapi- api. “ Bunuhlah aku! Aku tidak takut mati !
kematian lebih baik bagiku daripada
hidup dalam bulan- bulanan kalian hai orang-
orang yang terlaknat “ ! Malkah tidak gentar mendengar ancaman tentara itu. “Bangsat ! “ si tentara
menendang perut Malkah lalu pergi
keluar sel, menutup pintu sel dengan bunyi yang sangat keras memekakkan telinga. Malkah memejamkan
mata menahan sakit dan perih yang ia
rasakan pada perutnya. “ Allahu Akbar…”
lirihnya dan sel itupun berubah gelap.
***
Malam itu Malkah
Qafishah merasakan bahwa waktunya melahirkan
sudah tiba. Air ketuban telah menetes. Wajahnya pucat menahan sakit. Malkah berteriak
memanggil- manggil tentara Israel agar
segera membawanya ke rumah sakit. Awalnya mereka tidak peduli. Malkah memohon seraya
menjelaskan siapa bayi itu sesungguhnya.
Tentara Israel itupun membawa Malkah ke
rumah sakit dengan pengawasan ketat.
Mungkin ia boleh sedikit bersyukur
mendapat kesempatan melahirkan di rumah sakit,
sebab banyak rekannya yang dilarang oleh tentara Yahudi mendapat pertolongan medis saat persalinan
hingga bayi- bayi mereka meninggal. Malkah
melakukan proses persalinan dengan tangan tetap terikat. Tak berapa lama kemudian lahir
seorang bayi laki- laki dengan selamat.
Dalam keadaan yang sangat lemah itu Malkah
teringat kejadian- kejadian yang menimpanya selama di penjara. Termasuk perihal bayinya itu hingga
membuatnya tak ingin menatap sang bayi.
Namun naluri keibuannya tidak sanggup menahan
rasa cinta terhadap sesosok makhluk mungil yang keluar dari rahimnya iru. Perasaan Malkah
hancur. Didekapnya bayi mungil itu denga
penuh kasih. Cinta telah menghabiskan segala
dendamnya.
***
“ Ummi, dimana Abi?
Apakah Abi dibunuh oleh tentara Israel
yang kejam itu? katakanlah Ummi…jika benar, aku akan membalas perbuatan mereka. Aku akan membunuh
Yahudi yang terkutuk itu” Malkah menatap
Hasan dengan mata berkaca- kaca. Bayi merah
yang ia lahirkan sepuluh tahun lalu itu sekarang semakin cerdas. Ia selalu menanyakan asal- usul
ayahnya. “ Ummi…kenapa Ummi menangis?
Apakah Abi masih hidup, Ummi? Hasan
ingin bertemu dengan Abi. Hasan ingin melihat
wajah Abi walau hanya sekali…” Malkah memeluk Hasan. Ia sangat menyayangi putra
satu- satunya itu. “ Ummi, apakah Abi
dibunuh oleh tentara Israel itu seperti
abi teman- teman Hasan? “ Malkah masih diam. Ia mencoba menguasai perasaanya. “
Nak…” Malkah menatap Hasan dengan penuh kelembutan.
“ Jujurlah Ummi…Hasan sudah besar. Hasan berhak tahu siapa Abi Hasan. “
“ Anakku…Abimu adalah
tentara Israel itu “ Hasan kaget mendengar penuturan Malkah, ibunya. “ Tidak
mungkin, Ummi…tidak mungkin Abi Hasan orang jahat itu. Ummi hanya bercanda kan? “ Malkah
menangis. Hasan menghaspus air mata Malkah dengan jari- jarinya yang mungil. “
Ummi…kenapa Ummi menangis? Maafkan Hasan kalau kata- kata Hasan membuat Ummi sedih…Ummi
jangan menangis…” Malkah menggenggam
jari- jari Hasan yang menyentuh air
matanya lalu menciumnya dengan penuh kasih. “ Nak, mungkin sudah saatnya kamu
tahu. Dulu Ummi dipenjara dengan tuduhan
akan melakukan bom bunuh diri. Disana
Ummi disiksa dengan amat kejam. Tak hanya siksaan fisik, nak…Ummi diperkosa oleh tentara Israel itu.
Hingga akhirnya Ummi hamil dan
melahirkan engkau. Ayahmu adalah tentara yang memperkosa Ummi, nak “
“ Ummi…jadi aku
adalah anak tentara Yahudi yang jahat itu,
Ummi? “ Malkah diam. Seharusnya bocah sekecil itu tidak perlu tahu apa sebenarnya yang telah menimpa
dirinya. Hasan memeluk Malkah semakin
erat. “ Kenapa Ummi mau merawat dan membesarkan bayi dari musuh Ummi sendiri? “
Malkah tersentak. Ia tidak menyangka Hasan akan berkata seperti itu. “ Nak, jangan bertanya
seperti itu. Kamu adalah amanah Allah
yang harus Ummi jaga. Itu adalah kewajiban Ummi sebagai seorang ibu. “
“ Tapi Hasan adalah
anak Israel yang telah memperkosa Ummi.
Anak musuh kita. Anak musuh agama dan
bangsa kita. Anak orang yang telah membunuh banyak saudara kita. “
“ Kamu tidak salah
apa- apa nak. Kamu adalah anak Ummi yang
baik “
“ Terima kasih Ummi. Hasan
janji akan membela Ummi. Membela bangsa
dan agama kita “
***
Tentara Israel
kembali melakukan penyerangan. Mereka
membom rumah- rumah dan tempat ibadah. Mereka menembaki dan membunuh warga sipil. Mereka
beringas lagi. Para serigala itu haus
darah lagi. Pada malam yang mencekam itu Hasan selalu berlindung di balik dekapan ibunya. Ia
mendengar jelas suara bom dan tembakan.
Ia melihat kepulan asap di langit kotanya. Sementara Malkah tidak melepaskan pelukannya
pada Hasan. Ia tahu anaknya itu sedang
berada dalam ketakutan. Ia akan melindunginya
walau harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Pintu rumah Malkah didobrak. Dua orang tentara Israel berada di depan mukanya dengan
menghadangkan senjata. Hasan ketakutan.
Ia bersembunyi di belakang Malkah. Wajah
Malkah pucat. Ia tahu maut sebentar lagi akan menjemputnya. Entahlah, tanpa dosa apa- apa
Yahudi itu mulai membidikkan senjata,
bersiap- siap membunuh Malkah. “
Terkutuk kalian! Jangan bunuh Ummiku ! “
Hasan maju dari balik tubuh
Malkah. Ia berseru sambil melemparkan
batu- batu kecil ke wajah dua tentara Israel itu. “ Pergi kalian! Jangan ganggu
Ummiku…” Hasan terus melempari mereka.
Rupanya ia telah lama menyediakan batu- batu
untuk menyerang tentara Israel. “ Hasan,
jangan nak…kembali kesini dekat Ummi..mereka
bisa membunuhmu “
“ Jangan takut,
Ummi…aku akan membela Ummi…” Tentara itu jadi kelimpungan menghadapi serangan Hasan. Batu- batu Hasan mengenai mata mereka
sehingga membuat mereka kepayahan. “ Kurang
ajar kau bocah kecil! Mati kau ! “ seru salah seorang tentara lalu melemparkan timah panas
ke tubuh Hasan. Sebuah peluru menembus
dada Hasan. Darah bercucuran. Tubuh
kecil itu ambruk seketika. “ Hasan…anakku…” Malkah segera menghamburkan diri pada Hasan. Lantas ia memeluk tubuh
putranya yang talah berlumuran darah. “
Ummi…jangan menangis. “
“Iya nak…jangan
tinggalkan Ummi, nak… “
“ Iklhlaskan kepegian
Hasan menghadap Allah. Hasan ingin
melindungi Ummi dari kekejaman mereka. Hasan tidak rela mereka menyakiti Ummi lagi. “
“ Ummi mencintaimu,
anakku…” Ummi…apakah Allah mau memasukkan anak seorang tentara israel yang jahat ke surga ? Malkah
tidak dapat membendung air matanya. “ Anakku, percayalah, Allah akan memberikan
pahala syahid untukmu. Engkau telah
membela Ummi dan telah memerangi Yahudi
laknatullah. Engkau akan mencium bau surga,
anakku…” Setelah itu Malkah tidak lagi merasakan desah nafas dan detak jantung Hasan.[] ***
Tidak ada komentar