MAJALAH DRISE EDISI 26 RE- GENERASI : PREMAN & USTADZ
Vrijmen” atau “Vrijman” kata orang negeri kincir angin. “Freierman”, kata orang negerinya
Hitler. Dan “Freedom” kata orang negeri
Paman Sam. Semuanya punya arti yang
sama. Yaitu merdeka, bebas dan berdaulat.
Inilah nenek moyang dari kata ‘preman’! Jaman penjajahan doeloe, menjadi
“vrijman” menjadi idaman setiap orang.
Artinya orang-orang yang memiliki
kebebasan berpikir dan bertindak benar. Mereka disebut dengan “vrijdenkers”.
Di zaman pergerakan sebelum dan sesudah revolusi 1945, banyak orang-orang
yang merdeka yang bersemangat
“vrijdenkers”. Sutan Syahrir, Dr. Cipto,
Soekarno, Muh. Hatta adalah sebagian dari “vrijdenkers” yang “vrijman”. Jadi, dulu konotasi “preman”
mengarah positif. Catet tuh! Kini, kata
“preman” mengalami pergeseran sehingga
mengacu kepada predikat negatif. Yaitu kepada segerombolan orang yang “beragajul” dan
kerap bertindak anarkis. Kriminolog
Purnianti Simangunsong beranggapan bahwa
pergeseran makan “preman” ke arah
negatif dimulai pada sekitar tahun
1958-1960. Preman kala itu diidentikkan
dengan geng-geng motor yang
mengidentifikasikan diri dengan simbol-simbol seperti topi dan sepeda motor tentunya.
Julukan mereka ialah
“crossboy”, karena sering “nongkrong” di
perempatan jalan. Pokoknya segala
yang bernuansa kekerasan selalu
diidentikan dengan “preman”. Sehingga
muncullah istilah ‘premanisme’ untuk
menggambarkan budaya kekerasan. Ada yang tahu Basri Sangaji, Hercules atau John Kei? Yang pasti mereka bukan
anggota Boyband atau personil tambahan
The Avengers. Buat kamu-kamu yang
tergolong maskulin alias manusia
kutinggalan informasi, (hehehe,
maksa.com), ‘Trio’ ini adalah para pentolan organisasi preman di Jakarta yang udah termasyur.
Sepak terjangnya,
kerap kali menyita perhatian publik dan
media massa. Dan setelah Basri Sangaji tewas dalam suatu pembunuhan sadis di hotel Kebayoran Inn
di Jakarta Selatan pada 12 Oktober 2004
lalu, tinggal kelompok Hercules dari
Timor Leste dan Jhon Kei dari Mauluku
yang berlomba berebut pengaruh dan nama
besar di dunia premanisme. Bisnis
utama organisasi preman biasanya
bergelut dalam bidang jasa Debt Collector (penagih utang) yang melayani tagihan di atas Rp 500
juta.
Bisnis kecil-kecilannya mulai dari jual jasa pengawalan lahan sengketa, pengamanan tempat hiburan, lahan parkir, hingga jasa pengamanan
di tempat keramaian seperti pasar dan
terminal bis. Jasa yang mereka tawarkan,
semuanya nggak jauh dari aksi kekerasan.
Meski begitu, tidak sedikit para pengusaha
hingga birokrat yang memanfaatkan jasa mereka. Kehadiran Hercules, Jhon Kei, atau Basri
Sangaji dalam dunia premanisme bukan
tiba-tiba.
Masing-masing ‘meniti
karir’nya sejak masih muda belia. Untuk
membesarkan namanya, masing-masing merekrut anggota-anggota muda untuk
bergabung dalam kelompoknya. Regenerasi
preman terus berlangsung hingga hari ini.
Sialnya, benih-benih premanisme juga kian tersemai subur di lingkungan pendidikan formal.
Lembaga yang sejatinya melahirkan
intelektual muda berprestasi, ternyata
juga disusupi oknum-oknum preman pelajar. Mereka kerap kali bikin ulah dalam tawuran dengan sekolah
lain. Atau malah jadi ‘jagoan’ yang
doyan malakin adik kelasnya. Kalo nggak
dikasih, bisa diancam, sampe dipukul. Whuu..!
Beraninya ama anak kecil! Budaya premanisme yang lahir dari sikap sok
jagoan, bullying, atau vandalisme, tak
ayal mengurat akar begitu kuat di negeri
ini.
Diluar sekolah pun, aksi kekerasan itu ditunjukkan oleh media dan masyarakat. Secara
tidak langsung media ‘mengajarkan’
masyarakat cara-cara kekerasan via
sinetron, film layar lebar, atau berita
kriminal. Dari sinetron, mereka belajar bagaimana memukul temannya di sekolah untuk merebut
gadis pujaan, misalnya. Dari berita
kriminal, masyarakat jadi tahu dan tak
jera melakukan tindakan kekerasan. Yup, media
bagi masyarakat sekarang ini telah menjadi tuntunan daripada sekedar tontonan. Berharap para
preman tobat semua atau aksi premanisme
berhenti bisa jadi hanya sebuah mimpi.
Karena, hingga saat ini jasa para preman itu masih banyak yang pakai. Seperti hukum ekonomi bilang,
selama masih banyak permintaan (demand)
jasa preman, maka regenerasi preman
(supply) terus dilestarikan.
Selama hubungan
antara pembuat jasa dan pemakai jasa masih
kuat, apalagi didukung sistem sekular di negeri ini, maka akan sulit memangkas akar premanisme. Ada aja
nada sumbang saat pembenahan aksi
premanisme atau razia para preman
dieksekusi pemerintah. “kalo melarang
preman, trus dia mau dikasih makan apa?”. Ya tetep nasi, sagu, atau jagung. Sesuaikan lah dengan
kebiasaannya. Masa dikasih makan pelet,
emangnya ikan mas? ^_^ Sebenernya masih banyak pekerjaan halal dan terhormat yang bisa dilakonin. Cuman
masalahnya, boleh jadi penghasilannya
jauh di bawah UMP alias Upah Minimum
Preman. Sehingga hanya mereka yang berkomitmen
untuk berubah bisa kembali ke jalan yang
benar. Bahkan menjadi ustadz. Seperti yang terjadi pada Anton Medan atau Jhoni Indo. Dari sini, kita bisa sedikit simpulkan, kalo
premanisme kian marak karena beberapa
faktor.
Pertama, rapuhnya
iman. Ya, seorang muslim memilih dan tetap setia bekerja jadi preman yang identik dengan kekerasan
dan kemaksiatan karena faktor minimnya
iman. Terutama keimanan terhadap rizki,
bahwa rizki minallah (dari Allah),
sehingga kalo dia yakin pasti akan mencari pekerjaan selain itu dengan memilih bekerja dengan cara halal.
Preman Tobat, Bisa Kok!
Kedua, sulit dapat pekerjaan lain. Di tengah sistem kapitalistik seperti
sekarang ini, persaingan mencari
pekerjaan begitu ketat. Bahkan beberapa
praktek di lapangan, pekerjaan bisa
didapatkan karena kedekatan hubungan,
karena sogokan, dan seterusnya. Hal
inilah yang memicu, sebagian orang
apalagi di kota besar macam Jakarta, jadi preman pun akan mereka lakoni asal dapat duit.
Ketiga, karena faktor lemahnya negara menjaga rasa aman di masyarakat.
Sehingga jasa preman, security, body
guard jadi laku keras. Siapa yang punya
duit dan mampu membeli, maka akan
dapatkan rasa aman.
Nah, di tengah ketatnya persaingan bisnis ekonomi, dan juga politik, maka terjadi hubungan harmonis mutalisme pengusaha, pengusaha dan preman. Keempat, lemahnya sistem negara. Sistem sekulerisme yang diterapkan di negri ini
benar-benar telah menumbuh suburkan
premanisme. Gimana nggak, seperti telah disebutkan
diatas tadi bahwa perilaku premanisme
telah membudaya di masyarakat, bahkan melembaga dalam bentuk gank. Semua itu akibat lemahnya
negeri ini dari berbagai segi, mulai
dari pendidikan, ekonomi, hukum, budaya,
dan sebagainya. Kalo keempat faktor di atas dibenahi, insya Allah bukan cuman budaya premanisme yang bakal
tutup usia, para aktivisnya juga bakal berbondong-bondong
kembali ke jalan yang benar.
Rohis sebagai alternatif
Ketika orang berbicara ramai tentang maraknya benih premanisme di kalangan pelajar,
sebenarnya ada hawa kesejukan yang
ditawarkan lembaga kerohanian Islam
(rohis) sekolah sebagai solusi alternatif untuk
mengikis budaya preman. Tapi rupanya hal ini tidak berjalan mulus. Karena rohis sering
diidentikkan dengan sarung, gamis, jidat
hitam, kerudung dan jenggot. Kondisi ini
diperparah oleh fitnah media yang menganggap
sebagai sarang teroris. Meski dibilang opini penyudutan Rohis tidak cukup berhasil, namun penyerangan
opini itu menunjukkan dengan jelas bahwa
yang disebut-sebut sebagai war on
terrorism yang dimaksud adalah Islam.
Pesan sponsor nih! Makanya kita harus segera bergerak untuk
perbaikan citra rohis sebagai wada
regenerasi ustadz-ustadz muda. Ibarat
menolong orang jatuh, nggak hanya membantunya
untuk bangun, tapi juga harus menuntunnya agar bisa jalan. Pertama, mengembalikan semangat karena
Allah (semangka) para penggerak Rohis.
Meski ada opini yang tengah menyudutkan
Rohis, dakwah must go on!
Kedua, menuntunnya untuk jalan. Aktif membimbing rohis dengan program-programnya agar lebih
terarah dan tersistem dalam membina
remaja. Lebih joss lagi kalo pihak sekolah
ikut dukung sepenuh hati agar kegiatan
rohis biar tetep eksis. Tak lupa, dukungan dari orang tua dan juga masyarakat sangat diperlukan untuk menguatkan semangat aktivis rohis. Sehingga kreatifitas
anak-anak rohis bisa tersalurkan secara
positif dalam membentuk remaja
berkepribadian Islam. Kita harus meyakinkan orang tua bahwa Rohis kagak ada hubungannya dengan
teroris. Titik!
Ketiga, setelah dibina kepribadiannya, mereka diajak terjun ke lapangan untuk mendakwahkan ilmu,
tsaqofah yang telah mereka dapatkan.
Learning by doing bagaimana mengemas
cara berdakwah dengan cukup apik
sehingga bisa diterima oleh remaja
khususnya. Bisa dikemas lewat musik,
buku, seminar, diskusi, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa rohis
adalah cikal bakal produsen ustadz yang
concern dalam dakwah.
Kehadiran rohis menjadi salah satu perwujudan dari perintah Allah swt berikut: “Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran 104). Nah, melalui perantaraan rohis kita mencoba memangkas mata rantai regenerasi preman. Sebaliknya, meningkatkan produktifitas regenerasi ustadz.
Sehingga perbaikan kondisi negeri ini
bisa segera dibenahi dengan keaktifan
pribadi-pribadi pengemban dakwah.
Rohis beserta
alumninya telah menorehkan tinta putih di saat remaja yang lain mencoba melukiskan peradaban
generasi dengan tinta hitam berupa
tawuran, seks bebas, narkoba dan lain-lain. Maka menuduh Rohis sebagai sarang
teroris, cuman isapan jempol belaka.
Harusnya kita bilang ke musuh-musuh Islam penyebar fitnah, “Gue rohis. Masalah
buat loe?!” [LBR]
Tidak ada komentar